TRADISI TA’DZIM DI PONDOK PESANTREN SEBAGAI SIMBOL BUDAYA

Bagikan

Segala sesuatu tidaklah pernah benar-benar sederhana. Bahkan hal yang tampak remeh pun, ketika didalami, acap kali berubah menjadi sesuatu yang rumit. Hanya saja persoalan-persoalan demikian kerap dientengkan, sehingga lahirlah pemahaman yang cenderung dangkal.

Kedangkalan merupakan bentuk kemiskinan intelektual yang serius. Ia seringkali membuat orang-orang harus berselisih. Membuat mereka terdampar pada pemaknaan yang keliru. Dalam istilah lain: terlampau jauh dari kehendak realitas.  

Berbedanya pemahaman dan beragamnya penafsiran merupakan suatu hal yang wajar. Makna memang tak bisa dipaksa menjadi satu, sama dan seragam. Akan tetapi berbeda cara baca mestinya tidak berujung pada klaim kebenaran sendiri.

Hari ini, klaim kebenaran itu terjadi. Suatu fenomena kecil namum gaungnya memekakkan telinga Indonesia. Sebuah TV swasta menayangkan praktik yang terjadi di sebuah Pesantren tua: Pesantren Lirboyo. Santri berbaris bersalaman dengan kiai dengan mencium tangan kiai. Sambil antri untuk salaman, para santri jongkok. Tak satupun berdiri hingga jarak mereka sudah cukup jauh dengan sang kiai.

Dalam tayangannya, TV tersebut memiliki narasi yang negatif terhadap Pesantren Lirboyo. Menurutnya, ada praktik feodalisme di Pesantren. Selain itu, kiai disebut memperkaya diri gegara sebagian santri berhadiah amplop saat bersalaman. Kini, Pesantren Lirboyo yang akrab dengan pembelajaran tafsir Al-Qur’an harus berhadapan dengan tafsir sosial oleh media tentang dirinya.

Perseteruan pun tidak bisa dihindari. Kedua pihak mendapatkan pendukungnya masing-masing. Berbagai konten pembelaan dan perlawanan terus bermunculan dari pendukung kedua pihak. Keadaannya menjadi silang sengkarut. Sudah tak jelas antara pihak yang pro, yang kontra dan yang sekadar mengambil kesempatan menaikkan trafik like dan share untuk akunnya.

Suasana keruh akibat perkara yang sepele ini sangat disayangkan. Kekisruhan harusnya tak terjadi. Kita masih bisa memilih posisi berbeda; tak terbatas hanya sebagai pendukung yang menambah panasnya api pertikaian.

Rupa-rupanya, hermeneutika Paul Ricoeur bisa menyelamatkan kita. Pendekatan hermeneutikanya tak buru-buru mengarah pada sikap reaktif. Ia lebih mengarah pada sikap reflektif.

Pendekatan ini memiliki titik tekan pada tanda. Karena itu ia juga disebut sebagai hermeneutika simbolik. Paul Ricoeur sebagai peletak awalnya merupakan seorang filsuf kelahiran 1913 dan berkebangsaan Prancis.

Bagi Ricoeur, teks mengandung simbol. Simbol, menurut Sulih Nur Barokah yang dikutip oleh Ghulam Fathul Amri, merupakan struktur penandaan dimana makna langsung sebenarnya juga menunjuk kepada makna yang tidak langsung. Akan tetapi, makna tersebut hanya dapat dipahami melalui makna langsung.

Simbol akan dimaknai secara berkembang sesuai horizon pembaca. Sebab itu, pemaknaan tak berhenti pada pemahaman semata, tetapi lanjut hingga tahap refleksi. Melalui refleksi, pembaca dilibatkan untuk memahami dirinya sendiri. Di titik ini, sulit rasanya konflik bisa timbul. Dari teks, kita cenderung berkaca.

Menurut Ricouer sebagaimana yang dikutip Muhammad Nailul Authar As Syaukany Ahasmi, teks mencakup segala bentuk “produk” dari diskursus. Baik berupa ucapan, tulisan, teks bergambar, bahkan artefak.

Fenomena penayangan yang dilakukan TV swasta tentang tradisi ta’dzim di Pesantren Lirboyo, dengan demikian, termasuk teks. Sebagai teks, ia tentu memuat simbol. Dan kita mesti menafsirkannya.

Tafsirannya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi Pesantren. Praktek antara santri dengan kiai dalam bersalaman seperti di Lirboyo lumrah dalam tradisi Pesantren. Dalam tata cara tersebut menandakan ada penghormatan (ta’dzim) yang didasari rasa cinta.

Sebagai sebuah simbol, praktik tersebut adalah simbol tentang kelanggengan budaya. Pada era kontemporer, di mana budaya dengan gampangnya berubah, justru di Pesantren tidak demikian. Penghormatan terhadap guru dengan pola tertentu merupakan budaya yang tidak luntur walau telah lama mengakar sebagai tradisi.

Pada tahap refleksi, kita bisa berkaca. Sebuah budaya adiluhung seperti ta’dzim di Pesantren Lirboyo, bisa kuat bertahan jika unsur-unsurnya terpelihara. Unsur-unsurnya terdiri dari tiga hal: cinta, kesadaran dan figur teladan.

Hal ini bisa dipelajari oleh manusia Indonesia ke depan. Dalam kebutuhan membangun budaya berkarakter yang langgeng untuk semua lapisan, tidak terlepas dari ketiga unsur itu. Dan dari ketiganya, unsur figuritaslah yang paling rentan.

Untuk mengatasi kerentanan itu, figuritas mesti memiliki sistem regenerasinya. Dalam konteks pesantren, kiai berhasil tampil sebagai figur teladan bagi para santrinya. Begitu kiai wafat, santri akan muncul sebagai pengganti. Pembekalan untuk itu menjadi perhatian kiai.

Nilai figuritas seperti itu tidak kita dapati dalam budaya populer. Walaupun ada figur dan perkembangannya cepat meledak, namun bisa hilang dalam waktu sekejap. Usianya tak panjang. Ia bertumpu pada tren; dan tergeser dengan adanya tren yang lebih baru. Unsur pembentuknya hanya daya kejut dan kebaruan.

Lebih-lebih dengan budaya massa yang muncul tanpa figur. Ia hanya dibentuk oleh sensasi atau dorongan praktis. Eksistensinya bergantung pada kecondongan sekelompok masyarakat.

Dengan demikian, figuritas penting artinya untuk kelestarian sebuah nilai. Sebagai bagian dari tegaknya budaya adiluhung yang menjadi modal dalam membangun peradaban. Maka layak untuk menjadi perhatian bersama.

Kedua, dari teks berupa cara TV tersebut dalam membangun narasi. Dalam hermeneutika simbolik, tayangan tersebut merupakan simbol bahwa dampak besar saat sumbernya adalah yang besar.

Di tahap refleksi, meskipun bukan tentang budaya tetapi masih ada hubungannya dengan  figuritas. Publik figur adalah orang besar dalam sebuah komunitas. Karenanya, ia mesti selalu menjaga sikap dan perkataan.

Sekali ia keliru, akan berdampak fatal baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Dan sebaliknya, jika baik, akan membawa keselamatan dan maslahat. Contohnya banyak dan sering terjadi.

Pada Agustus lalu, sejumlah publik figur terjebak pada kebesaran namanya. Mereka melontarkan suara-suara pahit yang menyakiti hati rakyat. Sebagai akibatnya, rumah mereka dijarah saat demonstrasi terjadi. Bahkan mereka dinonaktifkan dari jabatan kenegaraannya.

 

Jadi, alih-alih terhanyut dalam pembacaan tekstual terhadap fenomena-fenomena di sekitar, lebih baik kita melakukan refleksi. Hermeneutika simbolik mengingatkan kita bahwa memahami selalu lebih mulia daripada menghakimi. Paul Ricoeur tidak menggiring kita menyalahkan siapa pun. Bahkan kita diajak bercermin untuk melihat serta merawat wajah sendiri.

AINUL YAKIN

AINUL YAKIN

Staff Yayasan Quantum IDEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *