Oleh Ainul Yakin
Adakah sisi mekanistik dari sebuah doa ?
Ibnu Atha’illah dalam sebuah masterpiecenya yang sangat padat dan belakangan banyak dibaca di tanah air, Al-hikam, menulis begini :
لايكن طلبك تسببا الي العطاء منه فيقل فهمك عنه. وليكن طلبك لاظهارالعبودية وقياما بحقوق الربوبية
Jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian Allah yang itu menunjjukkan kekurangan pemahamanmu terhadap-Nya. Hendaklah engkau sadari bahwa permintaanmu adalah pernyataan kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan.
Ada sebuah paradoks yang akan coba kita urai. Di satu sisi Allah memerintahkan kita banyak mendoa bahkan doa disebut sebagai otaknya ibadah, namun di sisi lain doa tak mengubah apapun dari ketentuan dan ketetapan (taqdir)-Nya.
Bagaimana doa tidak disebut sebagai otaknya ibadah, di dalam doa dan pinta ada “ingat” dan “kenal” dan “butuh” yang berpadu. Paduannya menjadi kontrol terhadap arah dan keseimbangan ibadah (penghambaan dan pengabdian) manusia. Dia senang dikenal para hamba-Nya. Aku perbendaharaan yang tersembunyi. Akupun senang untuk dikenal hamba-hamba-Ku – (Hadist Qudsi).
Dengan demikian, pinta dan aduan kepada-Nya mendapatkan pembelaan dan pembenaran dari agama. Namun bagi sebagian para pendoa, mereka kerap dibuat lupa dan lalai akan sakralnya doa saat mereka merasa –dengan doanya- sedang meminta Allah memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Mereka kadang lupa mempedulikan apa yang telah menjadi ketetapan-Nya. Di tingkatnya yang ekstrem, sebagian pendoa memelas agar Allah mengganti dan mengubah ketentuan-Nya. Ketentuan-Nya sudah final –ibarat tulisan di atas secarik kertas, tintanya telah mengering.
Dia mustahil melakukan sesuatu karena factor apapun. Kalau Dia melakukan sesuatu karena didikte manusia berarti hal tersebut baru dalam ilmu-Nya, dan itu lebih mustahil lagi. Tak masuk akal juga jika Dia Yang Maha Mengetahui alfa pada sesuatu yang belum terjadi menurut ilmu manusia. Jika memahami Tuhan menanti pinta manusia untuk Dia mewujudkan sesuatu, berarti sama saja dengan meyakini sejumlah celah kekurangan pada ilmu-Nya. Akidahpun telah diracuni kekeliruan. Menjadikan keimanan berada di titik yang jauh dari sempurna. Malah bisa jadi sangat rapuh dan lumpuh.
Membatasi pengetahuan Tuhan bisa saja muncul akibat cara pandang yang terlampau senang mengukur segala sesuatu dengan serba materialistik. Ideologi demikian telah diacuhkan di tempat kelahirannya sendiri. Melalui Karl Marx – Sang Filsuf dari Jerman- materialisme mendapatkan kehormatan dengan tingginya penerimaan masyarakat dunia saat itu. Abad ke-18. Namun tak berselang lama, pandangan akan eksistensi di luar yang materi kembali menjadi rujukan, utamanya oleh mereka yang memegang teguh agama. Akibatnya, materialisme menjadi kerdil walau masih terus dilirik.
Utamanya dalam mengimani yang Ilahi, menggunakan pandangan materialisme tentu tak senonoh. Kedekatan-Nya kepada manusia melebihi urat leher (Qaaf : 16). Kasih sayang-Nya dekat sekali dengan orang-orang bijak bestari (Al-A’raf : 56). Namun jarak dalam konsep ketuhanan tak lagi tentang yang fisik. Melainkan sangat transenden dan metafisik. Sehingga untuk menyipati-Nya, tak semua ulama sepakat melakukannya. Al-Hujwiri misalnya seperti yang dikutip Gusdur dalam bukunya Tuhan Tidak Perlu Dibela menyatakan “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir”. Sebagain filsuf yang tak berangkat dari kitab sucipun memiliki pendapat yang afirmatif terhadap sikap ulama seperti Al-Hujwiri tersebut. Logika yang hadir dari ungkapan Hegel misalnya “Bagaimana mungkin akal yang terbatas akan memahami Dia yang tak terbatas”. Dari sini, paradigma materialisme kita coba tinggalkan. Kita berupaya berlepas diri darinya terutama dalam upaya memahami epistemologi doa.
Selain paradigma materialistik, penyebab seseorang cenderung salah dalam memahami epistemologi doa dikarenakan mereka terjebak oleh muatan tekstual beberapa riwayat yang populer. Misalnya sebuah hadist la yaruddu al qadha’ illa al du’a (Tiada yang bisa menolak qadha kecuali doa). Membaca hadist tersebut dengan leterlek alih-alih akan meningkatkan ketaatan malah membuat keimanan menjadi runyam. Jika doa bisa menolak taqdir, maka doa terkesan lebih kuat dibanding kehendak Allah. Maka hadist tersebut lebih tepat diapahami sebagai anjuran Nabi kepada umatnya agar berdoa dengan intens daripada dipahami bahwa doa akan bisa menolak apa yang menjadi ketentuan Allah pada segenap makhluk-Nya. Demikian juga halnya dengan riwayat-riwayat lain yang masih senada, pembacaan leterlek terhadapnya perlu dipertimbangkan jika diangkat sebagai pendekatan dalam memahaminya, sebab pendekatan terhadap teks tidaklah tunggal. Ibnu Atha’illah misalnya telah mencontohkan cara pembacaan yang lain.
Lewat kelihaian pembacaan Sang Arif yang kerap digelari tajuddin (mahkota agama) tersebut, secara teologis mengingatkan kita akan qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri)-Nya Allah. Dia bukan bagian dari sesuatu apapun dan tak terpengaruh apapun. Sehingga doapun bekerja tanpa memberikan efek apapun kepada-Nya. Adapun kemunculan sesuatu yang dihajatkan manusia setelah berdoa –yang akrab diistilahkan istijabah dah qabul– tak lebih dari sekedar sebagai akibat dari sejumlah sebab yang tak terhitung jumlahnya. Salah satu dari rerantai sebab itu adalah doa itu sendiri. Ia dan segala kerumitannya bekerja dalam ilmu dan taqdir Tuhan. Bukan hal baru bagi-Nya. Namun yang harus dipahami bahwasanya rangkaian sebab-akibat tersebut bukanlah bagian dari ilmu manusia, akan tetapi bagian dari ilmu Tuhan. Sehingga manusia -dalam keterbatasan pengetahuannya- diharuskan agar kerja keras dan berdoa dengan rutin untuk mewujudkan harapannya. Kita tidak pernah tahu, usaha dan doa yang mana yang telah ditetapkan Allah sebagai pengisi rerantai sebab untuk (terwujudnya) suatu harapan tertentu.
Dari sisi tersebut, sisi kausalitas sebuah doa menjadi jelas. Bahwa ia menjadi bagian rangkaian sebab dalam ilmu Allah, bukan sebab yang menjadi penggerak Allah dalam berbuat sesuatu. Maka dari itu, perintah berdoa ud’uni astajib lakum (Berdoalah, niscaya akan Ku kabulkan) bisa dianalogikan kepada seluruh pola yang berlaku padanya hukum kausalitas. Makanlah maka akan Aku kenyangkan, kerja keraslah maka akan Aku sukseskan, mandilah maka akan Aku bersihkan, berobatlah maka Aku akan pulihkan, berolahragalah dan jagalah pola makan maka akan Aku sehatkan dan seterusnya.
Paradoksal pun menjadi lenyap. Doa tak ubahnya ikhtiar. Hanya saja doa merupakan ikhtiar dalam bentuknya yang lain. Keduanya berjalan dengan batas dan ketentuan cara kerjanya masing-masing. Dan terlepas dari batas-batas yang ada, doa bekerja secara mekanis walapun sifatnya adalah mekanis-metafisik.
Doa sebagaimana ikhtiar, selalu bisa menjadi wujud penghambaan kepada-Nya.
Ainul Yakin
Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA