Pentingnya Budaya Riset di Dunia Pesantren

Bagikan

Mencoba untuk menghasilkan sesuatu selalu dilakukan banyak orang. Di dapur, emak-emak membuat kue jenis baru untuk dinikmati keluarga atau dijual, pengerajin kayu berinovasi terus untuk membuat furniture baru dengan kombinasi keterampilannya yang ada, guru mencoba beberapa pendekatan dan metode dalam mengajar untuk menghasilkan cara dan sistem mengajar yang nantinya akan terbukti lebih jitu dalam proses internalisai pengetahuan dan sikap kepada segenap siswanya, dan sekian kasus lainnya selalu ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Dalam dunia akademik, aktivitas tersebut diistilahkan riset.

Riset adalah percobaan untuk menemukan sesuatu yang baru atau membuktikan hipotesis dengan langkah-langkah yang sistematis dan berbasiskan data yang empiris. Dalam maknanya yang umum, riset diterjemahkan sebagai “coba-coba serius”. Pekerjaan ini telah menyumbangkan banyak hal untuk peradaban manusia berupa kemajuan yang diharapkan akan membantu memudahkan manusia dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Termasuk juga agar lebih bisa dalam bertahan hidup.

Untuk konteks hari ini, budaya riset dalam capaian tertingginya banyak kita saksikan di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara maju. Mereka sangat getol dalam menemukan berbagai hal baru, sehingga baju kemegahan yang bernama negara maju layak mereka kenakan. Namun kita di Indonesia -walau masih bersetatus negara berkembang- tak boleh berhenti sebatas pada titik kagum dan mengutarakan berbagai bentuk pengakuan semata, karena jika mental tersebut tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan rasa inferior yang akut.

Indonesia memiliki mayoritas penduduk muslim. Kita tahu, umat islam sendiri sudah sejak lama mengenal budaya riset. Karena itu, bagi mereka tradisi meneliti yang sekarang berkembang di dunia barat dan sejumlah negara maju di timur bukanlah barang baru.

Dorongan dan segenap motivasi dari islam yang bisa kita temukan dalam dua pegangannya yakni Al-Qurán dan Al-Hadist telah banyak berbicara mengenai pentingnya riset dan penelitian. Salah satunya adalah Iqra’. Semangat Iqra’ ini sangat mengagumkan dalam konteks arab saat itu. Zaman yang dikenal sebagai zaman jahiliyyah. Negara arab saat itu diapit dua peradaban besar yang memiliki kekuasaan sangat luas dan kekuatan yang dahsyat. Peradaban Romawi dan Persia.

Dalam tradisi arab yang gemar berperang dan menonjolkan fanatis sukuisme, tiba-tiba Al-Qur’an hadir menyuarakan tentang Iqra’. Dorongan untuk banyak membaca, menelaah, analisa, komparasi, riset dan sebagainya terkandung dalam makna Iqra’tersebut. Maka sejak itu, tak berselang lama kemudian islam pun berhasil memimpin tampuk peradaban dunia. Lahir dan bermunculanlah tokoh-tokoh filsafat dan saintis yang menghasilkan ribuan buku dan penemuan di berbagai bidang. Jabir Al-Hayyan di bidang kimia, Al-Jabar di bidang matematika, Al-Farabi di bidang musik, Ibn Sina di bidang kedokteran dan masih banyak yang lain.  Bahkan di saat kemunduran islam pun, karya mereka masih terus menginpirasi manusia di berbagai belahan dunia khususnya di Barat.

Berbagai upaya kaum muslimin yang menyadari hal tersebut ingin mengembalikan semangat riset para leluhurnya yang sempat hilang sejak tiga ratusan tahun silam. Salah satunya adalah mengupayakan tradisi riset di dunia pendidikan yang berbasis keagamaan. Di Indonesia, Lembaga Pendidikan berbasis agama adalah pesantren. Mengapa riset harus dibudayakan lembaga pendidikan keagamaan yang dalam hal ini adalah pesantren?

Pesantren adalah tempat para santri mendalami ilmu dan wawasan keagamaan yang meliputi ilmu keislaman dan ilmu umum. Istilah ilmu keislaman dan umum hanyalah kategori yang muncul dengan adanya perbedaan objek dan metode saja, namun tak mengindikasikan adanya dikotomi terhadap keduanya. Dalam sudut pandang sang Hujjatul Islam Imam Al-Gazhali, kita menemukan alasan ketiadaan dikotomi tersebut. Semuanya pada hakikatnya adalah ilmu Allah. Semua ilmu memiliki hukum yang sama dalam mempelajarinya. Hukumnya adalah wajib. Hanya saja ada yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.

Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berbasis agama tak akan membedakan pentingnya mempelajari semua disiplin ilmu, baik yang sifatnya ke-agama-an maupun yang non ke-agama-an. Sehingga santrinya pun akan memiliki totalitas yang sama saat mendalami fiqih maupun saat mendalami matematika, misalnya. Maka budaya sholat berjamaah dan mengaji tidak akan dipandang sebagai “yang lebih esensial” daripada budaya riset. Sebagai dampak baiknya, pada gilirannya nanti, budaya pesantren yang memiliki kepedulian tinggi terhdap riset ini akan bisa menampilkan -meminjam istilah Muhammadiyah- islam berkemajuan.

Islam di masa lalu memiliki sejarah yang unik dalam membumikan budaya riset bagi pemeluknya. Dinasti Abbasyiah saat berkuasa, memberikan penghargaan yang sangat tinggi bagi siapapun yang mengahasilkan terjemahan terhadap manuskrip-manuskrip Yunani, karena menurut Sang khalifah terjemahan tersebut sangat potensial dalam memicu semangat dan pengetahuan kaum muslimin saat itu terhadap warisan peradaban Yunani kuno yang dikenal sebagai bangsa pengahasil pemikir dan saintis. Oleh karenanya, Para penerjemah sangat layak  mendapatkan penghargaan yang tinggi. Konon, setiap penerjemah akan dihadiahkan emas seberat buku hasil terjemahan mereka.

Kepedulian seperti itu, harus bisa tumbuh dengan baik dan cepat di dunia pesantren. Pesantren yang sejak awal telah membuktiakan kiprah nya dalam ikut serta membangun bangsa lewat berbagai perjuangan baik yang sifatnya peperangan dan politis maupun yang akademis, maka saat ini pesantren membudayakan riset sebagai bentuk membangun bangsa di era digital ini.

Maka, apresiasi yang setingggi-tingginya sangat pantas kita haturkan bagi sejumlah pesantren yang telah memulaikan langkah istimewa ini guna menyongsong masa depan yang lebih cemerlang untuk islam dan Indonesia.

×