Bumi harus dijaga, mengingat bahwa di dalamnya terdapat kehidupan. Menjaga serta merawatnya menjadi tugas umat manusia yang sejak awal diposisikan sebagai khalifatullah fi al-ardh. Maka tanpa jabatan pun, setiap orang dengan status dasariahnya sudah memiliki tugas dan tanggunjawab secara otomatis.
Untuk memakmurkan bumi, syarat yang mesti ada pada manusia adalah bahwa manusia harus menjaga seluruh dimensi kemanusiaannya. Bumi itu sesuatu yang material maka manusia adalah makhluk yang dianugerahi dimensi fisikis. Sungguh keliru kemudian keheranan kaum musyrik yang mempertanyakan mengapa nabi harus makan-minum dan pergi ke pasar.
Seluruh prilaku nabi yang berdasarkan sisi kemanusiaannya menggambarkan bahwa bumi akan diurus oleh penduduknya yang memiliki dimensi fisik. Namun dimensi fisik saja tidak cukup akan tetapi harus ada hal lain yang akan menjadi penyeimbang terhadap “yang fisik” tersebut. itulah akal. Akal lah nantinya yang akan memberi komando kepada anggota tubuh secara keseluruhan. Karena itu, manusialah yang dipilih untuk mengemban amanah memakmurkan bumi.
Amanah tersebut tentu tidak bisa dijalankan jika penduduk bumi yang memiliki kemampuan berakal-fikir ini bertindak layaknya binatang yang bertindak hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja. Karena itu, menjadi manusia bukan hanya tidak menjadi malaikat akan tetapi tidak membinatangkan diri.
Binatang memiliki konotasi negatif jika dilekatkan pada manusia. Prilaku binatang adalah prilaku yang tak manusiawi. Sehingga manusia yang membinatangkan diri adalah yang tak disetir akalnya melainkan hanya tunduk pada hasrat banalnya semata. Akibatnya, ia mengeksploitasi segala sumber daya tanpa mengenal batas dan norma. Pada gilirannya, ia hanya akan menjadi biang atas kerusakan dan porak-porandanya planet bertanah ini.
Prilaku demikian menggerus makna kemanusiaan yang seharusnya, alih-alih menunjukkan fungsi ke-khalifahan-nya. Jauh panggang dari api.
Di sisi yang lain, kemanusiaan juga memiliki dimensi sosial. Setelah kita menyadari arti penting mengupayakan serta merawat kemanusiaan di tingkat personal yang akan berdampak baik terhadap sikapnya terhadap lingkungan sekitar, diharapkan pula upaya-upaya tersebut diperluas sehingga menjamah sesame. Orang lain adalah manusia juga sebagaimana dirinya. tentu di dalam pribadi mereka pula melekat sisi kemanusiaan yang menuntut untuk dijaga.
Oleh karena itu sebuah kewajiban untuk kita memahami hal tersebut dengan tuntas. Dalam ketuntasan tersebut kelak akan melahirkan sikap peduli, empati dan rasa untuk saling memuliakan antar sesame. Karena itu, jika masih tersisa cara pandang memandang rendah orang lain bahkan melakukan hal-hal bengis yang mengancam kemerdekaan dan atau kebebasan orang lain pada hakikatnya ia tak mengakui kemanusiaan seseorang.
Hal tersebut jika dibedah dengan pisau agama, islam khususnya, praktik-praktik demikian sudah tentu tak mendapatkan tempatnya. Ia tak berhak secuilpun memperoleh status “pantas”. Islam menginformasikan akan kemuliaan manusia melalui Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70. Sesungguhnya kami memuliakan manusia..
Islam sebagai agama yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu kemanusiaan mengajarkan hal tersebut salah satunya dengan menitikberatkan etika dalam relasi manusia dengan semua entitas bernyawa. Jangankan kepada sesama manusia, terhadap binatangpun islam memperkenalkan etika. Sebagai contoh ketika hendak menyembelih binatang, tak diperkenankan menumbuhkan rasa takut kepada si binatang.
Beberapa aturan etis diantaranya : tidak diperkenankan mengasah alat sembelihan di depan binatang yang hendak disembelih, disarankan untuk memberi makan terlebih dahulu agar ia mati dalam keadaan kenyang dan hendaknya melafazkan asma’ Allah sebagai isyarat bahwa penyembelihan yang akan segera dilakukan tersebut bukanlah atas dasar kesewenangan yang tak berdasar melainkan bentuk mengambil manfaat dari alam dengan cara yang baik.
Maka dari itu, sudah sepantasnya manusia mengambil pelajaran dari aturan syariat yang demikian atau dari tradisi-tradisi baik lainnya walaupun hal tersebut bersifat kultural.
Kemanusiaan adalah perkara penting. Ia tak bisa digugurkan dengan berbagai dalih yang datangnya dari ajaran agama sekalipun karena ia memang menempati posisi sentral dalam ajaran agama. Sehingga ia tak bisa dipandang remeh lalu tak dihiraukan begitu saja. Berangkat dari itu, merendahkan serta menghina orang lain seakan tengah melupakan diri sendiri. Maka memanusiakan sesama adalah dengan saling memuliakan. Menjadi manusia seutuhnya adalah dengan konsisten menjaga seluruh dimensi hakiki di tingkat personal maupun komunal.
Ainul Yakin
Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA