Cyberbullying: Luka Batin di Era Digital

Bagikan

Era digital membuka gerbang baru bagi manusia untuk saling berinteraksi dengan mudah. Di balik semua kecanggihan dan kepraktisannya, era ini juga melahirkan sisi kelam, salah satunya cyberbullying. Dikutip dari unicef.org, cyberbullying atau perundungan dunia maya merupakan bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, hingga platform bermain game.

Berbeda dengan perundungan tradisional, cyberbullying tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Pesan teks, komentar di media sosial, bahkan postingan di forum online dapat menjadi alat untuk melecehkan, mengancam, atau menyebarkan rumor tentang seseorang. Dampaknya pun sangat serius. Korban cyberbullying rentan mengalami luka batin yang dalam dan berpotensi berkembang menjadi depresi, kecemasan, trauma berkepanjangan, bahkan berakibat fatal dalam beberapa kasus. Luka batin yang ditimbulkan cyberbullying tak kasat mata. Rasa malu, terisolasi, tidak berharga, dan tidak berdaya menghantui korban. Dalam kasus ekstrem, keputusasaan yang ditimbulkan dari cyberbullying dapat mendorong korban untuk menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri.

Di era digital, cyberbullying menjadi fenomena yang semakin marak. Bentuknya dapat berupa hinaan, ejekan, ancaman, penyebaran rumor, dan pelecehan yang dilakukan secara online. Akibatnya, dampak cyberbullying tidak hanya sebatas rasa sakit fisik, namun juga luka batin yang mendalam.

Dampak luka batin korban cyberbullying:

  • Depresi: Korban cyberbullying dapat merasakan kesedihan yang mendalam, kehilangan minat pada aktivitas yang disukai, hingga merasa hidupnya tidak berharga.
  • Cemas: Korban cyberbullying dapat merasa cemas, takut, dan khawatir berlebihan. Mereka juga dapat mengalami serangan panik dan kesulitan tidur.
  • Malu: Korban cyberbullying dapat merasa malu dan terhina atas perlakuan atau cibiran yang mereka terima. Mereka mungkin merasa tidak ingin bertemu orang lain dan menarik diri dari kehidupan sosial.
  • Rendah diri: Korban cyberbullying dapat merasa rendah diri dan hilang percaya diri. Mereka mungkin merasa dirinya tidak cukup baik dan tidak pantas mendapatkan kebahagiaan.
  • Trauma: Korban cyberbullying dapat mengalami trauma atau mimpi buruk tentang kejadian yang mereka alami.

Berdasarkan laporan penelitian Center for Digital Society (CfDS) yang berjudul Teenager-Related Cyberbullying Case (2021), terungkap bahwa 45,35% responden, atau hampir separuh dari remaja Indonesia usia 13-18 tahun, pernah menjadi korban cyberbullying. Penelitian ini melibatkan 3.077 siswa SMP dan SMA di 34 provinsi di Indonesia. Hal ini merupakan permasalahan serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata dari berbagai pihak.

49% remaja Indonesia korban Cyberbullying takut melapor

Survei yang dimuat dalam artikel “Stop Menjadi Pelaku Cyberbullying” di femina.co.id menunjukkan bahwa sebanyak 49% dari 193 remaja usia 12-15 tahun di Indonesia yang pernah mengalami cyberbullying tidak berani melaporkan kejadian tersebut. Ketidakberanian korban untuk melapor dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rasa takut, malu, atau tidak tahu harus melapor ke mana.

Fenomena ini menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi cyberbullying di Indonesia. Diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak, seperti membangun komunikasi terbuka antara anak dan orang tua, menerapkan program anti-bullying di sekolah dan edukasi penggunaan internet yang aman, memperkuat regulasi terkait cyberbullying, mensosialisasikan layanan support bagi korban, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cyberbullying dan menciptakan budaya digital yang positif.

Hukum Cyberbullying dalam UU ITE

Hukum tentang Cyberbullying diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 29 yang menerangkan tentang larangan mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti. Ancaman ini dapat berupa kata-kata, gambar, atau video yang menimbulkan rasa takut atau terintimidasi pada korban. Contohnya seperti ancaman untuk melakukan kekerasan fisik, menyebarkan informasi pribadi yang sensitif, atau merusak reputasi korban.

Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 29 UU 1/2024 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “korban” adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh tindak pidana. Termasuk dalam perbuatan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah perundungan di ruang digital (cyberbullying). Pasal 45B UU ITE menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Efektivitas hukum untuk pelaku cyberbullying tentunya tidak bisa hanya bergantung pada aturan itu sendiri, tetapi juga faktor-faktor eksternal lainnya. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku cyberbullying diperlukan untuk dapat meningkatkan efek jera dan mencegah tindakan serupa di masa depan. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan mendorong mereka untuk berani melapor jika mengalami cyberbullying.

Di samping itu, peningkatan literasi digital khususnya dalam edukasi tentang cyberbullying dan konsekuensi negatifnya perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Masyarakat perlu memahami bahwa cyberbullying adalah tindakan kriminal yang dapat membawa dampak serius bagi korban. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat dapat membantu mencegah terjadinya cyberbullying.

Mengingat dampak serius yang muncul akibat cyberbullying, dukungan dari keluarga, teman, masyarakat, hingga guru di sekolah juga berperan penting dalam membantu korban untuk mengatasi trauma dan dampak negatif yang dialaminya. Korban cyberbullying membutuhkan ruang untuk menceritakan pengalamannya dan mendapatkan dukungan emosional agar mereka dapat pulih dari pengalaman traumatis tersebut. Korban perlu diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian dan ada orang-orang yang peduli dengan mereka.

Tips Lawan Cyberbullying:

  • Jangan merespon atau membalas pelaku, karena melawan perundung di dunia maya hanya akan memperburuk keadaan
  • Laporkan, ceritakan kepada orang tua, guru, atau pihak berwenang untuk mendapatkan bantuan
  • Simpan bukti, screenshoot pesan, komentar, atau postingan yang mengandung cyberbullying agar dapat menindak pelaku
  • Cari dukungan, bergabunglah dengan komunitas yang mendukung korban cyberbullying untuk mendapat dukungan positif
  • Blokir akun pelaku, menghindari pelaku dapat melindungi diri dari paparan bullying lebih lanjut serta mengurangi rasa stress atau cemas
  • Jaga kesehatan mental, lakukan aktivitas positif adan menyenangkan untuk mengelola stress

Melaporkan Cyberbullying = Melindungi Diri

Melaporkan tindakan cyberbullying merupakan langkah penting untuk menghentikan pelaku dan melindungi diri sendiri maupun orang lain. Beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya:

  • Mencari tombol “lapor” atau “report” pada pesan, komentar, atau postingan yang berisi cyberbullying. Sebagian besar platform media sosial dan layanan percakapan online memiliki fitur pelaporan yang memungkinkan kita untuk melaporkan konten yang tidak pantas.
  • Jika cyberbullying terjadi di lingkungan sekolah atau melibatkan teman sekolah, laporkan kejadian tersebut kepada guru. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari perundungan.
  • Jika cyberbullying termasuk ancaman kekerasan, pelecehan seksual, pencurian identitas, atau pelanggaran hukum lainnya, laporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Hubungi pihak kepolisian setempat atau Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Melaporkan cyberbullying bisa menjadi proses yang melelahkan. Carilah dukungan dari orang tua, teman dekat, guru, atau psikolog. Mereka dapat membantu secara emosional dan memberikan saran tentang langkah selanjutnya. Selain itu, kita juga bisa mencari dukungan dari organisasi seperti Save the Children Indonesia https://savethechildren.or.id/ dan Yayasan Pulih https://yayasanpulih.org/ yang menyediakan layanan dukungan untuk korban cyberbullying.

Cyberbullying adalah permasalahan serius di Indonesia yang membutuhkan perhatian dan upaya bersama dari berbagai pihak. Dengan meningkatkan kesadaran, memperkuat penegakan hukum, dan menyediakan dukungan bagi korban, diharapkan cyberbullying dapat diatasi dan generasi muda Indonesia dapat terhindar dari dampak negatifnya.

Mari bersama-sama kita ciptakan ruang digital yang aman dan bebas dari cyberbullying!

 

Dimas Yanuar N

Dimas Yanuar N

Mahasiswa Institut Sains & Teknologi Al-Kamal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×