INFINITE MINDSET MUSLIM
Infinite Mindset Muslim? Apa yang terlintas di benak anda ketika melihat judul artikel ini?
Mungkin yang muncul pertama kali adalah tanda tanya, apakah ada infinite Mindset Muslim dan Infinite Mindset Non Muslim?
Apakah Mindset memiliki agama? Tentu saja tidak. Yang dimaksud dengan judul tersebut adalah bahwa seorang Muslim itu memiliki infinite mindset.
Hal ini karena memang ajaran agama Islam menanamkan hal tersebut. hanya saja sebagian dari kaum Muslimin mungkin tidak menyadarinya.
Tulisan singkat ini hanya akan mengenalkan apa itu finite dan infinite game, finite dan infinite mindset serta korelasinya dengan mindset yang diajarkan oleh Islam terhadap para pemeluknya.
Sebab ajaran Islam itu bila dipelajari secara urut dan benar dari ahlinya akan menjadikan seseorang itu memiliki mindset yang kokoh, lurus, positif, produktif, dan senantiasa berorientasi masa depan serta maslahat.
Mindset ini telah melahirkan pribadi-pribadi tangguh, tokoh-tokoh besar dunia yang belum pernah dikenal bandingannya dalam sejarah kemanusiaan.
Infinite mindset ini ternyata memiliki keselarasan dengan cara berfikir yang diajarkan oleh Islam. Bahkan bisa dikatakan Islam telah mengajarkan infinite mindset sejak dahulu kala. Nanti coba kita akan melihatnya.
Infinite Game VS Finite Game
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata permainan atau game? Mobile Legend? Monopoli? Catur?
Game jauh lebih dari ini. Faktanya, semua kehidupan dapat dilihat sebagai satu pertandingan besar. Tidak seperti permainan papan yang Anda mainkan saat kecil, permainan kehidupan ini dapat dimainkan dengan dua cara yang sangat berbeda.[i]
Simon Sinex mengatakan, jika ada minimal dua pemain maka ada permainan.
Ada dua jenis permainan atau game: finite game (permainan yang memiliki batas jelas) dan infinite game (permainan tanpa batasan).
Finite game dimainkan oleh para pemain yang jelas, aturan tetap dan ada tujuan yang telah disepakati bersama sehingga ketika tujuan itu telah dicapai, game telah selesai. Contoh finite game adalah sepakbola.
Semua pemain memakai seragam dan mudah dikenali. Ada serangkaian aturan dan para wasit ada di sana untuk menekankan aturan-aturan tersebut.
Seluruh pemain telah sepakat untuk bermain berdasarkan aturan tersebut dan mereka menerima pinalti ketika melanggar aturan tadi.
Setiap orang sepakat bahwa kapan saja sebuah tim mendapatkan skor lebih banyak di akhir periode waktu permainan akan diumumkan sebagai pemenang.
Permainan selesai dan setiap orang pulang ke rumah. Dalam finite game selalu ada awal, tengah dan akhir.
Sebaliknya, infinite game dimainkan oleh orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Tidak ada aturan yang pasti atau aturan yang disepakati.
Meskipun di sana ada konvensi atau aturan hukum yang mengatur bagaimana para pemain mengelola diri mereka sendiri, para pemainnya bisa beroperasi kapan pun mereka mau.
Dan jika mereka memilih untuk melanggar konvensi tersebut, mereka bisa melakukannya.
Cara pemain untuk memainkan permainan terserah kepada mereka. Mereka bisa mengubah cara mereka memainkan permainan, kapan saja, dengan alasan apa pun.
Infinite game memiliki horison yang tanpa batas. Karena tidak ada garis finish, tidak ada akhir praktis dari game ini, maka tidak ada yang namanya “memenangkan” suatu infinite game (permainan tanpa batasan).
Dalam suatu infinite game, tujuan utamanya adalah terus menerus memainkan permainan dan menjaga agar permainan tersebut terus berlangsung.
Bila menggunakan kaca mata finite dan infinite game, banyak hal di sekitar kita yang merupakan infinite game. Game tanpa garis finish dan tanpa pemenang.
Sebagai misal, meskipun sekolah itu adalah sesuatu yang finite atau terbatas, namun tidak ada yang namanya memenangkan pendidikan.
Kita bisa mengalahkan para kandidat lain dalam masalah pekerjaan dan promosi jabatan, namun tidak pernah ada orang yang dinobatkan sebagai pemenang karir.
Meskipun berbagai bangsa bisa saja bersaing pada skala global dengan bangsa-bangsa yang lain demi tanah, pengaruh atau keuntungan ekonomi, tidak ada yang dinamakan memenangkan politik global.
Betapa pun kita sukses di dunia ini, tidak seorang pun di antara kita dideklarasikan sebagai juara kehidupan. Dan tidak ada yang namanya memenangkan bisnis. Semua hal ini merupakan suatu perjalanan bukan event (peristiwa).
Infinite Mindset VS Finite Mindset
Orang yang memiliki finite mindset bermain dengan tujuan untuk menjadi pemenang. Kalau mereka ingin menjadi pemenang maka harus ada yang menjadi pecundang.
Mereka bermain demi diri mereka sendiri dan ingin mengalahkan para pemain lainnya. Mereka membuat setiap rencana dan setiap gerakan dengan pikiran untuk memenangkan.
Mereka hampir yakin bahwa mereka harus bertindak dengan cara semacam itu, meskipun pada kenyataannya, mereka sama sekali tidak harus bertindak seperti itu.
Tidak ada aturan mereka harus bertindak seperti itu. Pola pikir (mindset) merekalah yang mengarahkan mereka untuk melakukan hal tersebut.
Ada pun para pemain dengan infinite mindset, menurut Prof. Carse, bermain demi menjaga agar bisa senantiasa terus bermain. Mereka bermain untuk kebaikan permainan itu sendiri.
Bila dikorelasikan dalam dunia bisnis, pemain dengan finite mindset berfokus pada bagaimana penjualan produk-produk itu menguntungkan perusahaan.
Sedangkan pemain dengan infinite mindset berfokus pada bagaimana produk-produk yang mereka buat itu menguntungkan orang yang membelinya.
Para pemain dengan finite mindset cenderung mengikuti standard-standard yang membantu mereka meraih tujuan-tujuan pribadinya dengan mengesampingkan dampak-dampak yang mungkin timbul.
Pertanyaan, “Apa yang terbaik untuk saya?” ini merupakan finite mindset. Sedangkan pertanyaan, “Apa yang terbaik untuk kita?” ini adalah infinite mindset. Para pemain dengan infinite mindset tidak hanya memikirkan dirinya sendiri saja.
Prof. James P Carse menegaskan, karena bermain dengan suatu titik akhir dalam pikirannya, orang-orang dengan finite mindset tidak suka terhadap hal-hal yang mengejutkan (surprise) dan takut terhadap segala jenis disrupsi (gangguan).
Hal-hal yang tidak bisa mereka prediksi atau tidak bisa mereka kontrol bisa membuat kaget rencana-rencana mereka dan meningkatkan peluang kekalahan.
Sedangkan para pemain dengan infinite mindset, sebaliknya, memperkirakan berbagai surprise, bahkan gemar dengannya dan bertransformasi melalui hal-hal mendadak tersebut.
Mereka menganut kebebasan bermain dan terbuka terhadap segala kemungkinan yang membuat mereka tetap terus berada dalam permainan
Mereka bukan mencari cara-cara untuk bereaksi terhadap apa yang telah terjadi namun mereka mencari cara-cara untuk melakukan sesuatu yang baru.
Perspektif yang tanpa batas (infinite perspective) membebaskan suatu perusahaan dari melihat kepada apa yang sedang dilakukan oleh perusahaan lain. Ia memberi kita visi yang lebih besar.
Infinite Game Dalam Kaca Mata Muslim
Pembahasan tentang finite dan infinite game serta finite dan infinite mindset di atas hanyalah sekedar perkenalan singkat tentang kedua hal tesebut dari sudut pandang Prof. James Carse dan Simon Sinex. Arahnya lebih ke dunia bisnis. Artikel ini bukan membahas persoalan bisnis.
Artikel ini membahas bagaimana ajaran Islam juga mengajarkan kepada umatnya agar memiliki infinite mindset dalam memandang kehidupan ini secara keseluruhan.
Bahkan apa yang diajarkan Islam jauh lebih kokoh, lebih luas dan lebih lengkap karena berbasis kepada Wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wahyu Allah Ta’ala yang membentuk mindset umat Islam agar memiliki mindset yang benar dan lurus dalam melihat kehidupan ini. Melihat apa yang terjadi di dunia ini melampaui apa yang nampak pada saat ini.
Melihat kehidupan dunia ini bukan sebagai segalanya dan berhenti di sini saja. Dunia bukanlah segalanya dan kehidupan tidak berhenti di sini saja.
Apa yang ada di balik dunia ini jauh lebih layak untul menjadi tujuan akhir dari setiap umat Muslim.
Islam menegaskan bahwa dunia ini hanyalah salah satu episode kehidupan yang akan terus berlanjut ke episode berikutnya. Cara pandang seperti ini terhadap kehidupan jelas merupakan ciri infinite mindset.
Umat Islam akan senantiasa dituntut untuk melakukan yang terbaik dalam hidup di dunia ini bukan untuk mendapatkan manfaat materi jangka pendek berupa harta atau prestasi keduniaan lainnya semata.
Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan yang terbaik sebagai bentuk pelaksanaan penghambaan kepada Tuhannya, upaya untuk meraih cinta-Nya dan memberikan maslahat yang sebesar-besarnya kepada sesama umat manusia dan menghilangkan kesusahan mereka.
Artinya, manfaat yang dihasilkan dari aktifitas mereka menjangkau banyak dimensi. Ada dimensi personal, transendental, sosial dan ekonomi.
Misal saja seseorang belajar dan bekerja dengan keras dan secara cerdas untuk menjadi seorang ahli di bidang bedah jantung.
- Dia bertujuan untuk mengembangkan minat dan bakatnya (dimensi personal),
- Diniatkan untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin khususnya dan umat lain pada umumnya terhadap keahlian bedah jantung yang masih sangat sedikit di wilayahnya (dimensi sosial).
- Demikian juga diniatkan untuk melaksanakan perintah Nabi ﷺ agar bila melakukan sesutau agar dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga meraih cinta Allah Ta’ala (dimensi transendental),
- Demi menolong para pasien berpenyakit jantung yang membutuhkan pembedahan jantung untuk meyelamatkan hidupnya (dimensi kemanusiaan).
Dan tentu saja, profesi itu dengan sendirinya meningkatkan taraf hidupnya secara ekonomi.
Jadi satu aktifitas hidup saja bisa memiliki banyak motif dan tujuan besar di luar capaian secara materi berupa harta dan status sosial yang tinggi di masyarakat.
Ada hal-hal yang lebih besar dari materi, yaitu manfaat terhadap lingkungan dimana dia berada, bahkan menjangkau sesuatu yang paling fundamental dalam hidup seorang muslim yaitu ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [Adz-Dzariyat: 56]
Adapun pengertian ibadah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ”Sebuah ungkapan bagi apa saja yang Allah cintai dan ridhai baik berupa perkataan dan perbuatan secara zhahir maupun batin.”
Demikianlah dimensi yang dicakup oleh ibadah dalam Islam. Penetapan tujuan besar dalam kehidupan bagi seorang muslim ini akan mewarnai seluruh aktifitas dalam hidupnya, membebaskannya dari belenggu hawa nafsu dan memerdekakannya dari pandangan hidup materialistik dan egoistis.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
9. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.
10. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”
11. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan. [Al-Munafiqun: 9-11]
Ayat ini manyatakan bahwa hidup di dunia memang ada batas akhirnya berupa datangnya kematian. Namun diingatkan bahwa kehidupan ini tidak berhenti di situ. Tetap terus berjalan. Masih ada kehidupan baru yang harus di jalani.
Semua orang mukmin diajarkan untuk senantiasa melihat ke arah ini, jauh ke depan melampaui realitas keduniaan yang ada, agar jangan sampai lengah dan gagal dalam melaksanakan tugas utamanya yaitu beribadah kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. [Al-Hasyr: 18-19]
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إن اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Rasululah ﷺ bersabda,”Sesunguhnya Allah mencintai salah seorang dari kalian apabila melakukan suatu amalan (pekerjaan) dia melakukannnya dengan sesempurna mungkin.” [Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (897) dan Al- Baihaqi dalam Syu’abul Iman (5312)]
Ini prinsip besar tentang beramal atau bekerja secara profesional. Pelajaran dari hadits ini, melakukan sesuatu dengan cara terbaik, memenuhi standard tertinggi penyelesaian suatu pekerjaan.
Bukan sekedar untuk aktualisasi diri atau penyaluran bakat seseorang, mengejar prestise di tengah masayrakat dan memperoleh kesejahteraan ekonomi semata.
Motif ini terlalu pendek dalam kaca mata akidah Islam. Rasulullah ﷺ menanamkan kepada umatnya agar berorientasi kepada sesuatu yang melebihi semua itu, lebih besar, lebih mulia dan lebih agung yaitu cinta dari Tuhan yang Maha Agung.
Bila motif ini sangat kuat tertanam dalam pikiran seseorang saat melakukan sesuatu, maka dengan sendirinya hal-hal yang bersifat material tadi akan ikut.
Dan yang lebih penting dari itu, dia tidak akan pernah kehilangan semangat untuk melakukan sesuatu secara terbaik saat berbagai hal yang bersifat duniawi tadi tidak didapat karena satu dan lain hal.
Dia menikmati bekerja secara profesional karena sudah menjadi bagian dari jalan hidupnya dan cara berfikirnya. Dia menikmati cara bekerja yang semacam itu.
Tidak terpengaruh dengan, misalnya, ada pihak lain yang melampaui dirinya dalam kemampuan dan prestasi karena dia tidak sedang berkompetisi dengan orang tadi dan berusaha untuk mengalahkannya.
Namun dia sedang beribadah kepada Allah untuk meraih cinta-Nya, semaksimal kemampuan yang dia miliki dan curahkan.
Dia juga tidak akan iri dan dengki kepadanya karena tahu itu semua hanya akan membakar habis apa yang telah dia bangun selama ini. Dia akan terus begitu hingga meninggal dunia karena memang begitulah perintahnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). [Al-Hijr: 99]
Ini gambaran bagaimana Islam mengajarkan umatnya memiliki infinite mindset.
Contoh Infinite Game Dalam Kehidupan Muslim
Berikut ini beberapa contoh lain tentang peran-peran kehidupan yang merupakan bentuk infinite game.
- Pernikahan
Pernikahan dalam Islam tidak dibatasi dengan masa tertentu dan tujuan jangka pendek tertentu. Kalau yang semacam itu maka itu di luar ajaran Islam. Yaitu nikah Mut’ah.
Pernikahan dalam Islam berlaku seumur hidup. Ia memiliki tujuan yang agung dan mulia.
Pernikahan dalam Islam bukan sekedar sarana melegalkan insting dasar manusia berupa pemenuhan hasrat seksual.
Pernikahan dalam Islam bukan sebuah sarana pertandingan antara suami istri siapa mengalahkan siapa. Bukan sarana untuk menguasai salah satu pihak dan kemudian mengeksploitasinya.
Pernikahan dalam Islam merupakan ikatan perjanjian suci antara dua hamba Allah berlainan jenis untuk melegalkan hubungan mereka secara seksual dan untuk menciptakan ketenangan batin, rasa cinta dan kasih di antara mereka berdua.
Selain itu juga untuk menjaga keberlangsungan keturunan mereka dan menjadi sarana untuk saling membantu dalam mentaati Allah Subhanahu wa ta’ala.
Mereka harus bekerjasama sebaik mungkin agar bisa istiqamah di atas agama dan melahirkan keturunan untuk didik bersama dengan sebaik-baiknya agar menjadi hamba Allah Ta’ala yang baik pula.
Dari sini tidak ada istilah menang kalah, siapa juara, siapa pecundang dalam sebuah pernikahan. Yang ada adalah orang yang berhasil memelihara pernikahan tersebut agar tidak terurai ikatannya dan terlepas atau yang gagal dalam memeliharanya.
- Dunia Pendidikan
Pendidikan juga bukan merupakan finite game yang di dalamnya ada juara pendidikan dan pecundang pendidikan.
Namun pendidikan merupakan sebuah proses yang bersifat terus menerus dalam membangun suatu generasi, agar mampu menjadi generasi yang – dalam pandangan Islam – menjadi umat memiliki ciri-ciri sebagai umat terbaik yang pernah ditampilkan di dunia ini.
Generasi yang memiliki keimanan yang benar kepada Allah, senantiasa memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar. Proses pendidikan terus menerus berlangsung dari generasi ke generasi tanpa henti sama sekali.
Sarana pendidikan bisa merupakan sesuatu yang bersifat finite atau terbatas seperti sekolah, universitas, lembaga pelatihan dan seterusnya. Namun pendidikan itu sendiri tidak mengenal ada batasan waktu sama sekali.
Ia merupakan proses yang terus berlangsung menyesuaikan tuntutan zaman yang ada. Namun dalam masalah-masalah prinsipal, pendidikan dalam Islam tidak mengenal adanya perubahan. Misalnya saja masalah aqidah, akhlak dan ibadah.
- Melawan Penjajah
Melawan penjajah dalam Islam merupakan bagian dari makna jihad. Perang di jalan Allah jelas bukan ‘finite game’ kategorinya.
Bukan sesuatu yang memiliki batas waktu tertentu. Meskipun pada pelaksanaannya pedoman secara syar’i jelas dan target jihadnya juga jelas.
Hanya saja, jihad tersebut tidak akan pernah behenti dilakukan oleh kaum Muslimin. Kaum Muslimin secara individu dituntut untuk terus menerus berjhad terhadap hawa nafsunya dan setan. Ini sampai mati.
Tidak ada yang boleh berhenti melakukannya karena merasa bosan atau lelah. Itu hanya akan membuat dirinya menjadi tawanan hawa nafsu dan setan.
Sedangkan jihad melawan orang kafir dalam bentuk memerangi mereka itu telah ditegaskan oleh Nabi ﷺ akan terus berlangsung hingga hari kiamat.
Rasulullah ﷺ bersabda,
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الجَعْدِ رضي الله عنه ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الخَيْرُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ : الأَجْرُ وَالمَغْنَمُ
“Dari Urwah bin Al-Ja’di radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ , beliau bersabda,”Kuda itu pada jidatnya terikat kebaikan hingga hari kiamat, yaitu pahala dan ghanimah (rampasan perang).” [Hadits riwayat Al-Bukhari (2852( dan Muslim (1873)].
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata terkait hadits ini,”Dalam hadits ini terdapat dalil akan keabadian Islam dan Jihad sampai hari kiamat. Maksudnya adalah menjelang terjadinya kiamat, yaitu sampai datangnya angin berbau wangi dari arah Yaman yang mencabut ruh setiap orang mukmin dan mukminah sebagaimana telah tetap periwayatannya dalam Ash-Shahih.” [Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim (7/69)][iv]
- Dunia Dakwah
Dakwah secara hukum memang fardhu kifayah. Bila sudah ada sebagian yang melakukannya hingga tercukupi fardhu tersebut maka gugurlah kewajiban yang lain.
Namun demikian, hal ini tidak kemudian membenarkan setiap orang untuk berpangku tangan pada hari ini.
Mengingat kondisi umat Islam saat ini masih banyak yang belum memahami prinsip-prinsip ajaran Islam baik dalam masalah akidah, ibadah maupun akhlak.
Sementara banyak sarana perusak hati dan pikiran yang mudah sekali diakses oleh masyarakat muslim di zaman sekarang ini.
Untuk itu, seorang muslim yang memiliki ilmu akan menyadari betapa beratya tantangan dakwah pada zaman sekarang ini meskipun sarana dakwah juga semakin beragam dan canggih.
Seorang Muslim yang memiliki ilmu dan wawasan agama yang memadai harus menyiapkan diri untuk menghabiskan umurnya dalam dunia dakwah. Tidak ada istilah pensiun dalam dunia dakwah kecuali ada udzur syar’i.
Dakwah kepada orang non Muslim itu sudah satu pekerjaan besar tersendiri. Menguatkan ilmu, iman dan takwa serta menolong orang yang baru masuk Islam juga sudah satu proyek penting lain.
Mengajari umat Islam yang masih sangat awam tentang Islam, mereka yang masih lalai dengan kewajiban agamanya, mereka yang terjerumus dalam berbagai bid’ah dan khurafat, banyaknya sekte sesat yang membahayakan aqidah umat, dan lain sebagainya.
Semua ini jelas merupakan lahan dakwah sepanjang hayat. Belum lagi jumlah ulama dan dai yang semakin berkurang karena meninggal, sehingga persoalan kaderisasi dai dan ulama juga menjadi agenda besar dalam dakwah kepada Allah.
Ini menunjukan bahwa dakwah juga bagian dari peran kehidupan yang tidak ada batasnya.
Menyikapi Infinite Game Dengan Infinite Mindset
Ada sebuah prinsip yang diajarkan oleh Simon Sinex, yaitu dalam infinite game, seorang pemain harus bermain dengan infinite mindset.
Sebab, katanya, kalau dalam infinite game kita bermain dengan finite mindset maka keanehan-keanehan akan meningkat dan kita akan mendapati diri kita berada suatu situasi yang kompleks dan sulit yang bergerak dengan kecepatan tinggi ke arah kemauan dan sumberdaya yang kita perlukan untuk tetap melakukan permainan.[v]
Ungkapan Simon sinex ini menarik. Coba kita perjelas dengan beberapa persoalan di bawah ini:
1. Infinite Mindset Menyikapi Pernikahan
Sebagaimana kita tahu bahwa pernikahan itu masuk kategori infinite game karena memang tidak ada menang kalah dalam menikah. Pernikahan dalam Islam itu memang ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia di dunia ini.
Ia merupakan sarana utama menjaga keberlangsungan eksistensi manusia di muka bumi. Ini salah satu misi utamanya.
Masih banyak yang lain, di antara yang paling utama adalah sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah keapda Allah, memelihara kehormatan dengan memberikan saluran hasrat seksual yang legal secara hukum agama.
Dengan demikian, bila seseorang memandang pernikahan itu hanyalah sekedar wahana pelampiasan hasrat seksual atau menyatukan dua hati yang saling jatuh cinta, atau ada tujuan meraih harta benda atau kedudukan dan lain sebagainya, hal itu bisa muncul masalah serius.
Misalnya, cinta mulai luntur karena banyak ketidak cocokan. Maka mudah saja mereka untuk berpisah atau melakukan perselingkuhan.
Bila menikahi wanita karena kecantikannya semata, misalnya, tanpa ada misi mulia sama sekali, maka bila kecantikan sirna , mudah saja seorang wanita ditinggal pergi.
Bila nikah karena harta, sudah berapa banyak kita dengar seorang wanita minta cerai dari suaminya karena jatuh miskin.
Tidak sanggup hidup sengsara di masa sulit bersama suaminya karena memang pikiran awalnya nikah itu adalah sarana untuk mendapakan harta.
Mereka tidak akan sanggup untuk terus mempertahankan bahtera keluarga saat badai menerpa. Pondasinya sangat rapuh. Lain sekali dengan orang yang memiliki infinite mindset dalam memandang pernikahan.
Dalam proses mencari pasangan saja sudah selektif. Harus orang yang bagus agama dan akhlaknya karena Nabi ﷺ memang pesannya seperti itu. Dan ini besar sekali pengaruhnya dalam kehidupan berumah tangga dalam Islam.
Kesadaran akan agung dan mulianya tujuan pernikahan serta besarnya pahala membuat mereka mampu bekerja sama sebaik mungkin, dalam situasi apa pun.
Mereka akan berusaha untuk mewujudkan tujuan-tujuan besar dari pernikahan. Karenanya, mereka biasanya lebih tangguh dalam menghadapi masalah keluarga dan lebih solid dalam situasi apa pun.
2. Infinite Mindset Dalam Dunia Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu sarana paling fundamental untuk membangun peradaban suatu bangsa. Pendidkan merupakan proyek jangka panjang untuk memajukan peradaban umat manusia.
Untuk itu, orang-orang yang bergelut di dunia pendidikan harus orang-orang yang memiliki visi ke depan yang jelas, idealisme yang tinggi dan memahami secara utuh dan menyeluruh prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam dan tujuan-tujuannya yang telah digariskan syariat.
Pendidikan yang ditangani oleh orang-orang pintar namun berorientasi dunia semata, akan menyebabkan lahirnya generasi yang maju secara pengetahuan dan teknologi, namun jauh dari Allah, dari agama dan akhlak yang mulia.
Sebab, mereka tidak paham prinsip dan tujuan agung dan mulia pendidikan dalam Islam.
Generasi yang semacam itu tidak akan mampu menjadikan umat Islam sebagai umat yang memimpin umat manusia dan menjadi teladan bagi mereka. Generasi yang kosong jiwanya, rendah akhlaknya dan lemah keyakinannya.
Para pendidik semacam ini tidak akan mampu untuk mewujudkan tujuan-tujuan besar pendidikan dalam Islam bila dia tidak merubah mindsetnya yang sempit, pendek dan tidak utuh itu.
3. Infinite Mindset Melawan Penjajah
Infinite mindset dalam melawan penajajh merupakan salah satu bentuk jihad. Dan Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa memiliki cita-cita untuk berjihad di jalan Allah meskipun secara hukum tidak selalu fardhu ‘ain.
Hukum dasarnya memang fardhu kifayah. Hanya saja, dalam kondisi tertentu berubah menjadi fardhu ‘ain.
Rasulullah ﷺ bersabda,
– مَن ماتَ ولم يغزُ ولم يحدِّث نَفسَهُ بالغَزوِ ماتَ علَى شُعبةٍ من نفاقٍ
” Siapa saja yang meninggal dan belum berperang (di jalan Allah) dan tidak bercita-cita untuk berperang (di jalan Allah) maka dia mati di atas cabang kemunafikan.” [Hadits riwayat Muslim (1910) dari Abu Hurairah radhiyallahu ;anhu]
Tidak mau berjihad tanpa udzur saat hukumnya fardhu ‘ain itu suatu cacat dalam iman seorang Muslim. Inilah yang menjadikan kaum Muslimin mujahidin bersemangat untuk berjihad melawan musuh-musuhnya.
Semangat tanpa akhir. Apalagi ditambah janji-janji pahala yang sangat menggiurkan di akhirat nanti. Ini yang menjadi rahasia mujahidin Indonesia dalam perang kemerdekan mampu bertahan melawan Portugis, Belanda, Jepang dan Inggris.
Tak satu pun dari negara tersebut yang sanggup bertahan di negeri ini. Karena memang secara mental kaum Muslimin Mujahidin siap berperang sampai negeri ini merdeka tanpa peduli berapa lamanya dan berapa banyak korban yang jatuh karenanya.
350 tahun bukanlah waktu yang singkat. Korban yang jatuh pasti sangatlah besar. Hanya saja tidak terdokumentasikan seluruhnya karena memang keadaan tidak memungkinkan melakukan dokumentasi secara lengkap pada masa itu.
Demikian pula yang terjadi di negeri-negeri Muslim yang lain. Mujahidin tidak akan pernah kehabisan semangat, karena mereka sudah diberi jaminan akan mendapatkan pertolongan. Mereka hanya dituntut bersabar memenuhi sebab-sebab untuk terus mampu bertahan dalam jihad sampai musuh terusir dari tanah air mereka.
Ini sudah menjadi mindset kaum Muslimin Mujahidin yang jujur dan sabar dalam jihadnya.
Bahkan untuk kasus orang kafir saja, bila berpegang dengan infinite mindset, yaitu siap berperang tanpa batas waktu yang jelas sampai musuh hengkang dari tanah airnya pun juga terbukti memenangkan pertempuran melawan musuhnya yang jauh lebih kuat.
Di antara sebabnya adalah musuhnya punya mindset bahwa perang itu yang penting menang dalam setiap pertempuran. Namun tidak ada kesiapan sama sekali untuk berperang tanpa batas waktu yang jelas.
Menurut Simon Sinex, inilah yang terjadi di Vietnam. Amerika berperang untuk “menang” sedangkan Vietnam berperang demi kehidupan mereka.
Amerika menang di hampir setiap pertempuran namun akhirnya kalah perang karena mendapatkan tekanan publik mereka sendiri yang menghendaki perang dihentikan karena biayanya sangat mahal dan kelihatannya tidak akan bisa dimenangkan dan tidak ada tujuan politik yang jelas.
Akibatnya mereka kehabisan tekad dan sumberdaya untuk terus bermain. Akhirnya terpaksa harus keluar dari permainan.
4. Infinite Mindset Dalam Dunia Dakwah
Seorang aktivis dakwah harus memandang dakwah sebagai sebuah kewajiban seumur hidup yang harus dijalani dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, bagaimana pun dinamika yang ada.
Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa dakwah ini meupakan kewajiban langsung dari Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [An-Nahl: 125]
Dakwah bukan proyek musiman. Dakwah bukan mengikuti trend atau arus yang berkembang dalam masyarakat. Dakwah dilakukan dalam kerangka menyeru manusia seluruhnya agar mengikutijalan Allah Ta’ala.
Selama masih ada ada yang menyimpang dari jalan Allah, maka selama itu pula dakwah tidak berhenti dilakukan. Tentu dengan berbagai cara dan pendekatan yang sesuai dengan obyek dakwah, kondisi serta waktu dan tempatnya.
Bila memiliki cara pandang seperti ini dalam dakwah, maka seorang aktivis akan siap secara mental untuk terus menerus mendakwahi manusia menuju jalan Allah Ta’ala yang lurus.
Namun kalau tidak demikian cara berfikirnya, berarti dia memandang dakwah sebagai aktifitas sampingan dan musiman saja. Bukan salah satu kewajiban sepanjang hayat.
Kalau ada waktu, berdakwah, kalau baru nggak mood, libur dulu. Bila banyak rekan yang bekerja dalam dakwah, tumbuh semangat. Kalau teman-temannya pada menghilang dari jalan dakwah, ikut tiarap dan ganti haluan. Nasalullahal ‘afiah.
Langkah-Langkah Agar Muslim Memiliki Infinite Mindset
Lantas apa langkah-langkah yang pelru dilakukan agar seorang Muslim memiliki infinite mindset?
Dari persektif ajaran Islam, seorang muslim haruslah memiliki infinite mindset; mindset yang berorientasi jangka panjang, tidak berorientasi materi, berorientasi memberikan manfaat dan maslahat sebanyak dan sebesar mungkin kepada sesama muslim dan bahkan kepada umat manusia.
Selain itu, harus mampu beradaptasi serta bertahan dalam menghadapi berbagai situasi yang muncul dalam perjalanan kehidupan ini. Berikut beberapa hal yang perlu untuk dilakukan:
- Menyadari tujuan penciptaan umat manusia
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [Adz-Dzariyat: 56]
- Memahami tujuan Allah menciptakan kehidupan dan kematian.
Allah Ta’ala berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِير .الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, [Al-Mulk: 1-2]
Tujuan diciptakannya kehidupan dan kematian adalah menguji setiap manusia, siapakah yang paling baik amalnya. Maksud dari hal ini dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله
” ( لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ) ، قَالَ الْفُضَيْل بْنُ عِيَاضٍ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ، قَالُوا : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ قَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ خَالِصًا ، وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا ، لَمْ يُقْبَلْ ، وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ ، حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا.
وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ ، وَالصَّوَابُ : أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ، وَذَلِكَ تَحْقِيقُ قَوْله تَعَالَى (فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ) ” انتهى من “مجموع الفتاوى” (1/ 333) .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Maksud dari “supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” : Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata,”Yang paling murni dan yang paling tepat (shawab).” Orang-orang bertanya,”Wahai Abu ‘Ali, apakah yang dimaksud dengan yang paling murni dan paling tepat?”
Al-Fudhail menjawab,”Sesungguhnya suatu amal apabila murni namun tidak tepat tidak akan diterima. Dan bila amal itu tepat namun tidak murni, juga tidak diterima sampai sebuah amal itu murni dan tepat.
Yang dimaksud dengan murni adalah amal itu hanya ditujukan untuk Allah dan yang dimaksud dengan tepat adalah amal itu berdasarkan atas sunnah. Itu adlah realisasi dari firman Allah Ta’ala,
“Dan siapa yang berharap untuk bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah melakukan amal shaleh dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya.” [Al-Kahfi: 110] [Majmu’ Fatawa: 133]
- Memahami hakikat dunia dan akhirat. Dunia itu permainan, fana dan tempat ujian. Akhirat itu hakiki, abadi dan tempat menetap dalam kenikmatan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. [Al-‘ankabut: 64]
يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. [Al-Mukmin: 39]
- Memahami bahwa Ibadah itu tugas seumur hidup.
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). [Al-Hijr: 99]
- Memahami bahwa Allah adalah Dzat yang menentukan segala sesuatu.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
”Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 22-23)
Rasulullah ﷺ bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
”Allah menulis takdir seluruh makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” [Hadits riwayat Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.]
Hidup ini berjalan sesuai dengan apa yang telah Allah takdirkan. Tugas manusia adalah beriman kepada takdir, menerima dengan ridha dan bersabar bila takdirnya berupa musibah atau sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki manusia, dan bersyukur bila ternyata seperti yang diharapkan.
Ini akan menutup celah sikap frustasi dan depresi menghadapi kegagalan hidup serta kesombongan dan lupa daratan saat berhasil.
Tangguh dan lapang dada saat menghadapi situasi tidak menentu, berat dan sulit. Pandai bersyukur serta rendah hati saat mendapatkan nikmat dan keberhasilan.
Tugas manusia adalah berusaha dengan sebaik-baiknya, menyempurnakan seluruh sebab yang mengantarkan kepada keberhasilan, masalah hasil dari suatu usaha itu sepenuhnya di tangan Allah bukan usaha manusia.
- Memahami kemuliaan dan keutamaan memberikan manfaat dan pertolongan kepada orang lain.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ » رواه مسلم
Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,”Siapa saja yang membebaskan dari seorang mukmin salah satu kesusahan dari sekian kesusahan di dunia ini, maka Allah akan membebaskan dari dirinya satu kesusahan dari kesusahan pada hari kiamat.
Dan siapa saja yang meringankan kesulitan seseorang maka Allah akan meringankannya di dunia dan akhirat.” [Hadits riwayat Muslim (2699)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, ”Dalam hadits ini terdapat keutamaan membantu kebutuhan dan memberi manfaat kepada sesama muslim sesuai kemampuan, dengan ilmu, harta, pertolongan, pertimbangan tentang suatu kebaikan, nasehat dan lain-lain.”
[Syarh Shahih Muslim (17/21)]
- Memahami bahwa cinta Allah bisa didapatkan melalui pelaksanaan suatu perbuatan baik dengan sebaik-baiknya.
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إن اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Rasululah ﷺ bersabda,”Sesunguhnya Allah mencintai salah seorang dari kalian apabila melakukan suatu amalan (pekerjaan) dia melakukannnya dengan sesempurna mungkin.” [Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (897) dan Al- Baihaqi dalam Syu’abul Iman (5312)]
Demikianlah pembahasan tentang Infinite Mindset Muslim. semoga bermanfaat. Apabila ada kebenaran dalam tulisan ini, maka dari Allah Ta’ala semata, karena rahmat dan keutamaan-Nya. Dan bila ada kesalahan di dalamnya maka itu dari kami dan dari setan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenan mengampuni semua kesalahan kami dan seluruh kaum Muslimin.
Source :
[i] https://lifeclub.org/books/finite-and-infinite-games-james-p-carse-review-summary
[ii] lihat Infinite Game, Simon Sinex, hal. 3-4.
[iii] Infinite game, Simon Sinex, hal, 9-11, secara ringkas
[iv] https://islamqa.info/ar/answers/
[v] lihat Infinite Game, Simon Sinex, hal. 15
[vi] Ibid, hal. 15-16.
Dimas Yanuar N
Mahasiswa Institut Sains & Teknologi Al-Kamal