Janji Sains Pasca Artificial Intelligence (AI)

Bagikan

I think it is possible. We could download the things that we believe make ourselves to unique. Now, of course, if you’re not in that body anymore, that is definitely going to be a difference, but as far as preserving our memories, our personality, I think we could do that.

-Elon Musk-

Walau tak pernah gagal untuk menjemput, namun kematian tak pernah menarik untuk diingat. Ia menandakan sebuah perpisahan yang total. Maka tak heran jika manusia lebih tertarik berfantasi hidup abadi tanpa peduli seabstrak dan sespekulatif apa gambaran maupun analoginya.

Pernyataan Elon Musk di atas dikutip Sauer dan diulang kembali Hizkia Yosias Polimpung dalam buku antologi interdisipliner tentang kecerdasan buatan yang berjudul Filsafat Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Kemanusiaan oleh Martin Suryajaya dkk.

Pernyataan tersebut optimistik. Izin untuk melakukan percobaan pada otak manusia pun telah dikantongi inovator teknologi berdarah Afrika Selatan–Kanada–Amerika tersebut untuk proyek Neuralink miliknya. Artinya, dengan modal itu, proyek teknologi kesadaran digital ini benar-benar akan menjadi momok baru bagi kemanusiaan.

Di sisi lain, keberanian Elon Musk mengungkapkan hal itu dengan mengatakan “I think it is possible”, “I could do that” bisa membuka celah para saintis lain untuk mewujudkan satu terobosan mutakhir dalam teknologi intelligence ini. Terobosan itu tak lain adalah Uploaded Intelligence (UI). Ia adalah tentang mencipta kesadaran digital. Industri teknologi UI ini dianggap sebagai jawaban atas kekecewaan orang pada Artificial Intelligence (AI). Selama ini AI masih belum mendapatkan pengakuan banyak pemikir mengenai kemanusiaannya.

Banyak di antara mereka yang masih bersikeras menyatakan bahwa kecerdasan yang dimiliki AI terbatas pada menyambung dan menggabungkan data serta informasi dari berbagai ruang digital. Karena itu, ia robot. Tak lebih. Dengan demikian, pasca AI lahirlah UI.

Berbeda dengan AI, UI memiliki potensi untuk mendapatkan pengakuan. Pada UI terdapat upaya digitalisasi kecerdasan manusia ke dalam bentuk virtualnya. Cara kerjanya  lebih kompleks dibanding implantasi pada Neuralink yang “dituduh” sebagai biangnya. Dalam UI, dikenal ada proses pengirisan dan pemindaian otak untuk menghasilkan mind uploading. Dengan kata lain, otak manusia akan dicangkok dengan teknik tertentu lalu dirangkai sebagai otak pada robot.

Jika ini betul terjadi, manusia telah mempersembahkan capaian yang mengagumkan. Dengan pemindahan otak maka manusia tak lagi risau dengan urusan-urusan biologis dan psikologis. Tubuh sudah berganti mesin. Jika usang maka bisa diganti. Tak ada lagi keluhan sakit pada badan. Begitu juga dengan urusan psikis. Tak tersisa lagi cerita kejiwaan yang berbagai rupa. Manusia mesin –untuk selanjutnya, saya lebih tertarik menggunakan istilah manusia digital- hanya memiliki kecerdasan, tanpa kesadaran subjektif atau qualia.

Ini cara yang bisa ditempuh manusia sebagai upayanya mengurangi tingkat kerusakan dan kejahatan di atas planet bumi. UI akan menghasilkan manusia-manusia digital yang patuh dan tak pandai membuat intrik.

Benarkah demikian ? Apakah teknologi saat itu akan memenuhi janji klasiknya terhadap kemanusiaan ? Sudah mampukah sains tak menyisakan luka bagi manusia global ? Mari kita amati dengan seksama !

Capaian yang menakjubkan ini pelan-pelan akan menciptakan satu fenomena baru. Batas antara terma hidup dan mati menjadi kabur.  Manusia akan mengalami kematian secara biologis namun hidup secara digital.

Fenomena ini menjadi semakin runyam saat ia disulap dengan bahasa terbalik. Orang akan meyakininya bukanlah sebagai kematian melainkan keabadian. Dengan dicangkoknya otak ke robot, maka kecerdasan yang ia miliki sejak hidupnya akan tetap bisa diakses dan difungsikan.

Dengan begitu, akan ada tawaran di tingkat global bagi orang yang sudah mengalami perkembangan otak dengan matang. Mereka ditawarkan agar segera memindahkan otaknya sebagai jalan menuju keabadian. Kondisi ini menjebak manusia untuk mati sebelum waktunya. Di saat itu akan terjadi ketegangan pada masyarakat dunia. Mereka bisa abadi dengan kehilangan keutuhannya atau memilih tetap bisa mati secara normal dengan resiko tak abadi seperti yang lain.

Bagi manusia digital yang memilih abadi, mereka akan menjadi manusia mesin dengan otak yang cerdas namun telah dikebiri. Bagaimanapun, berbekal kecerdasan semata tanpa kesadaran subjektif membuat manusia kehilangan banyak hal, bahkan status kemanusiaannya kemudian dipertanyakan.

Namun terlepas dari nasib yang demikian, fenomena keabadian ini tetap saja menarik dikarenakan ia terbungkus demikian rapi, menarik dan sistematis sehingga banyak orang yang hanyut dalam buaian atas nama sains. Di sisi yang lain, ia akan menjadi pemicu penyakit sosial berupa kesenjangan jenis baru. Muncul dikotomi manusia digital dan manusia biologis. Tak berakhir sampai di situ, sebagian manusia biologis yang tertindih persoalan-persoalan finansial, keamanan atau lainnya memilih menjadi manusia biologis karena terpaksa. Mereka tak mampu memenuhi persyaratan untuk ditransformasi menjadi manusia digital. Entah karena alasan keterbatasan ekonomi atau kualitas otak yang tak layak untuk diunggah.

Akibatnya, yang masih tersisa dan memilih menjadi manusia biologis seutuhnya adalah orang-orang yang memiliki keberanian. Selain bergelut dengan gejolak-gejolak eksistensial sepanjang waktu, resiko lainnya ialah mereka takkan abadi.

Bagaimana dengan penguasa atau korporasi yang akan mengontrol kesadaran digital tersebut ? Apakah mereka akan memilih menjadi manusia yang mati atau menjadi bagian dari kasta yang ia ciptakan sendiri ?

Kita tak bisa memastikan. Jika mereka akan memilih yang pertama. Itu karena mereka menikmati sentuhan-sentuhan eksistensial dalam dunianya. Sehingga proyek raksasa ini mengarah pada eksploitasi manusia yang tak berkesudahan. Mereka tak mengizinkan orang cerdas akan mati begitu saja melainkan sebisa mungkin akan dimanfaatkan otaknya hingga waktu yang tak ditentukan.

Lain halnya jikalau mega proyek ini bukanlah bentuk hasrat eksploitatif, maka bisa jadi mereka memilih untuk abadi. Mereka berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Berangkat dari kepeduliannya, ia menyumbangkan kecerdasannya untuk generasi mendatang. Ia ingin bermanfaat untuk sesamanya dalam lintas waktu.

Akan tetapi tuntutan zaman terus berubah. Manusia pun terus dihadapkan dengan kasus-kasus yang semakin baru. Konsekuensinya, dibutuhkan kecerdasan dan kemampuan membuat keputusan yang up-to-date. Dengan demikian, kelak akan ada saatnya manusia digital bisa usang. Ia akan digantikan generasi yang lebih baru yang dianggap memiliki kemampuan  beradaptasi lebih baik dan dianggap lebih kompatibel dengan tuntutan mutakhir.

Jika demikian maka keabadian hanyalah janji sains yang tak akan terbukti. Yang tersisa kemudian hanya eksploitasi besar-besaran terhadap otak manusia. Bagaimanapun, kematian menjadi tetap niscaya karena akan adanya penonaktifan terhadap manusia-manusia digital yang dianggap sudah tak memadai secara kecerdasan.

Dengan demikian, alih-alih menyodorkan solusi, Uploaded Intelligence (UI) justru akan mewariskan segudang masalah kemanusiaan. Maka ambisi humanisasi robot intelligence tampak sebagai arogansi sains.

Uploaded Intelligence (UI) adalah istilah yang mengacu pada film Pantheon. Ia fiktif dan spekulatif, tetapi tidakkah ia bagian dari realitas ?

Ainul Yakin

Ainul Yakin

Staff Yayasan Quantum IDEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *