Kemuliaan tak hadir dalam anggapan. Lebih-lebih jika anggapan tersebut terapung tanpa berpijak pada apapun. Karena itu seringkali seseorang terjebak lalu terperangkap anggapannya sendiri. Kaum penyekutu Tuhan di daerah Makkah sebagai contohnya. Mereka pernah keliru dalam menilai keabsahan baginda nabi Muhammad SAW. sebagai rasul berdasarkan anggapan subjektif yang tak berdasar.
Mereka para musyrikin punya ekspekstasi bahwa nabi adalah sosok yang unik, suci, agung dan pantas diglorifikasikan dalam setiap aspek kehidupan maupun pribadinya setiap waktu. Itulah mengapa saat mereka menyaksikan keseharian baginda nabi yang berprilaku sama dengan manusia lain seperti makan, minum bahkan keluar-masuk pasar, mereka sontak mempertanyakan itu.
Bagi mereka, perkara-perkara demikian dipandang remeh dan sungguh tak layak dilakukan seorang yang mendaku sebagai sang utusan suci. Pembawa risalah idelanya layaknya malaikat yang dalam beberapa dimensinya terkesan tak terjangkau manusia. Sabda-sabdanya bertuah dan memiliki kesaktian yang tak tertandingi.
Nabi –menurut mereka- kehilangan sisi profetiknya dikarenakan menempel padanya sisi kemanusiaan yang umum ditemukan pada manusia-manusia lain. Anggapan-anggapan yang demikian ternyata demikian klasiknya. Zaman sekarang harusnya ia usang, aus dan sirna. Namun, rupa-rupanya hari ini indikator kesucian dan kemuliaan masih dibangun di atas standar-standar yang menafikan kemanusiaan.
Misalnya saja, sosok penganjur kesalehan dinilai tak wajar tampil dengan pola hidup yang sederhana. Bahkan kadang-kadang penilaian itu muncul dari dirinya. Ada anggapan bahwa kewibawaan hadir dari pola yang berjarak dengan umat. Untuk menciptakan jarak, sang tokoh tak berkumpul dengan orang banyak kecuali dengan intensitas yang sangat terbatas, pola komunikasi yang dibangun tak bersifat dua arah melainkan satu arah dan cenderung doktrinal dan patrimonialis.
Contoh yang lain misalnya para elit Negara atau public figure yang enggan untuk memiliki daftar koleksi alat transportasi yang minim, rumah yang tak mewah, asesoris yang kurang wah ataupun hal-hal lain berupa perbendaharaan hal-hal yang menggambarkan kekayaan fisik.
Pemandangan yang demikian hari ini masih umum terjadi. Seseorang dengan status sosialnya, ia terjebak dalam pola-pola yang menghidup-suburkan kasta. Ada penjara yang bernama gengsi, kharisma dan wibawa.
Tak seorangpun tak ingin hidup terhormat. Bahkan pencaci dan pemaki pun tak henti-nya mengupayakan kehormatan dirinya. Hanya saja ia muncul seringkali tak seperti bagaimana ia diracik dan ditenun. Kehormatan dan kemuliaan itu hadir dari ketaqwaan. Etika seseorang dalam membawa dirinya di tengah khalayak yang beragam.
Nabi tentu manusia biasa layaknya manusia pada umumnya. Karena itu, ia memiliki sisi-sisi kemanusiaan. Beberapa hal menyangkut keseharian mereka seperti makan, minum dan keluar-masuk pasar adalah sangat manusiawi. Perkara-perkara tersebut tak akan mencedari kenabiannya.
Bagaimanapun, sosok nabi adalah pembawa pesan-pesan Tuhan. Karenanya Ia adalah tauladan. Ia makan bukan agar dipahami bahwa nabi identik dengan perkara-perkara material dan lalu memproduksi hal-hal kotor setiap saat. Begitu juga dengan aktif ke pasar bukan karena nabi identik dengan tempat-tempat yang kerap terjadi di dalamnya penipuan dan percekcokan yang seharusnya dihindari, akan tetapi dua simbol tersebut sebagai penanda bahwa nabi tak menilai sesuatu apapun yang potensial bermanfaat untuk kebaikan bersama sebagai sesuatu yang layak atau harus dihindari. Pasar boleh dimasuki oleh siapapun asalkan ia beaktivitas di dalamnya sesuai dengan tuntunan agama.
Dalam tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab mengatakan bahwa tak jarang Allah menggunakan terma-terma dalam perniagaan sebagai diksi-analogis saat memberikan seruan kepada manusia untuk memercayai dan mengamalkan tuntunan-tuntunannya. Misalnya, Allah menamai hubungan timbal-balik antara diri-Nya dengan manusia sebagai “perdagangan” dan pengampunan dosa sebagai “keuntungan”. (QS. Ash-Shaff :12).
Karenanya, kehadiran nabi yang terus kita maulidkan setiap tahun adalah sebagai alarm setiap saat yang mengingatkan kita bahwa standar kesucian atau kemuliaan bukanlah dengan meninggalkan hal-hal yang manusiawi padahal memiliki segudang manfaat baik untuk diri maupun orang lain.
Ainul Yakin
Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA