PESANTREN DULU, KINI, DAN NANTI

Bagikan

Agama harus didakwahkan. Ajaran-ajarannya harus disebar-luaskan dan nilai-nilainya harus dibumikan. Begitulah prinsip yang diyakini masyarakat yang memiliki kepedulian dan kesadaran religiusitas mendalam. Karenanya, dalam banyak budaya kita menemukan lembaga keagamaan mendapatkan tempatnya tersendiri dalam pusaran sebuah peradaban besar.

Secara khusus, agama islam, secara historis telah diajarkan turun-temurun dengan berbagai cara dan pendekatan. Salah satunya adalah lewat sebuah lembaga yang secara spesifik fokus pada pendidikan. Dalam peradaban islam di Negara-negara timur tengah seperti Saudi Arabia, Mesir, dan Irak, kita mengenal ‘madrasah’ atau di Iran lembaganya disebut ‘hauzah’.

Demikian juga dalam tradisi tanah air, konsekuensi logis dari adanya asimilasi budaya dengan kultur Negara islam timur tengah, istilah ‘madrasah’-pun sudah mendarah daging bagi segenap anak bangsa. Namun sebagai corak nusantara, ‘madrasah’ kerap digandeng dengan nama lainnya yaitu ‘pesantren’ atau ‘pondok pesantren’.

Dalam mengawal prinsip-prinsip agama, pesantren telah memberikan andil yang sangat signifikan dalam ikut membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa yang memiliki ciri khasnya tersendiri yang dikenal dengan manusia religious.

Karakteristik itu menjadi demikian diperhitungkan di tengah kemajemukan penduduk tanah air. Sebutan tersebut seakan telah membentuk identitas tersendiri bagi para alumnus ataupun pelajar yang ada dalam pesantren yang akrab dikenal sebagai kaum santri. Dalam beberapa dekade terakhir, dalam pentas-pentas politik nasional misalnya, ‘religius’ itu kerap menjadi pertimbangan kaum elit dalam menentukan individu calon pemimpin tertinggi.

Bagaimanapun, sedari awal, pesantren memang terbukti bisa mewujudkan output yang memiliki kualitas setara dengan kaum cendekia dengan backround umum. Ini dipicu oleh semangat agama itu sendiri yang sangat menghargai kemajuan dalam semua aspek kehidupan tanpa melihat masing-masing displin ilmu atau masing-masing ruang kebaikan secara dikotomis. Maka, pesantren sebagai lembaga keagamaan tentu memiliki tuntutan manifestasi yang tinggi terhadap sejumlah ayat-ayat yang menjelaskan urgensitas kemajuan peradaban.

Demikianlah mengapa dalam dinamikanya, pesantren siap mengadopsi dan mengimpelementasikan kurikulum nasional yang memiliki kepedulian terhadap pembelajaran ilmu-ilmu non keagamaan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kokohnya agama memang tidak bisa lepas dari peran seluruh disiplin ilmu yang ada. Bagaimanapun, semua disiplin ilmu menjanjikan paradigma tersendiri dalam memandang suatu obyek tertentu. Semakin ilmu-ilmu dipahami secara lintas, semakin banyak cara pandang dalam melihat dan mengungkap kebenaran. Itulah sebabnya, jika kita menilik intelektualitas yang dimiliki oleh para leluhur terdahulu sungguh sangat mengagumkan, karena memang tak terbatas pada satu dua bidang keilmuan saja.

Mereka yang dikenal sebagai filsuf sekaligus penemu berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang menginspirasi masyarakat barat hari ini, dikenal pula oleh dunia sebagai tokoh-tokoh yang polymath. Mutafannin dalam istilah arabnya.

Hari ini, semua lembaga pendidikan, khususnya pesantren, dihadapkan dengan sejenis tantangan berupa pendatang baru, yaitu dunia digital. Digitalisasi telah merambah ke seluruh ruang-ruang kehidupan manusia dengan sangat mudahnya. Lebih-lebih dengan ditemukannya Artificial Intelligence (AI) yang merupakan penemuan mengagumkan dalam dunia sains mutakhir.

Tantangan ini seakan hendak memastikan bahwa kaum santri harus tetap mentradisikan pembelajaran non keagamaan dan menjamin penguasaan terhadapnya sekaligus.

Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence ini, selain menghadirkan sejuta kemudahan bagi manusia, ia juga datang dengan segenap potensi jahatnya. Betapa mudahnya manusia mengeksploitasi manusia bahkan kelompok tertentu sebagai pemenuhannya akan nafsu-nafsu kapitalnya. Betapa gampangnya seorang atau sekelompok oknum dalam memberikan informasi dan keterangan palsu sebagai pemenuhannya atas hasrat-hasrat kebohongannya yang telah menjadi system dan terlembagakan dan seribu kemungkianan-kemungkinan busuk lainnya.

Dalam ranah administrasi publik, ranah politik, ranah budaya dan ranah-ranah lainnya selalu memiliki celah untuk dirasuki potensi-potensi buruk kemajuan sains-digital tersebut. Maka pesantren harus meluaskan sayapnya dalam mengemas dakwah keagamaan kepada publik. Esensi dakwah adalah amar ma’ruf nahi mungkar.

Maka dalam abad digital ini, peran yang akan menjadi fokus pesantren adalah membentengi umat dari salah kaprah dalam menyikapi kehadiran makhluk unik yang bernama sains tersebut tanpa harus membuat jarak dengannya. Pada sisi ini, pesantren menampilkan islam yang terbuka terhadap segala pernak-pernik kemajuan sebuah peradaban umat manusia. Karena itu, ia menjadi dinamis.

Pesantren memiliki ruh yang membuatnya dinamis dalam memberikan manfaat kepada segenap umat. Di mana ruh yang dimaksud adalah paradigmanya yang bercorak logis-transendental. Sebuah cara pandang rasionalistis yang tak lain adalah terapan dari tuntutan Al-Qur’an sendiri, dan transendental karena tak berujung pada hal fisik dan material saja, akan tetapi orientasinya hingga pada dimensi yang metafisik.

Karena itu, eskatologi mendapatkan perhatian yang sangat mendalam dalam pandangan islam. eskatologi mempunyai penalaran yang meliputi hukum-hukum yang berlaku untuk perkara-perkara non materi. Secara khusus, aspek non materi ini akan bicara banyak pada hal-hal yang menyangkut alam akhirat.

Untuk perkara ini, terdapat tebing yang tinggi antara pendapat islam dengan pendapat barat yang bersandar pada rasionalitas semata. Misalnya dalam analisis Refan Aditya dalam jurnal Kanz Philosopia memperlihatkan perbedaan titik jangkauan antara Heidegger sebagai seorang ahli filsafat terbaik Jerman sebagai perwakilan ‘barat’ dengan Sadrul Muta’allihin yang merupakan filsuf perwkilan ‘islam’ pada pemikiran mengenai struktur fundamental manusia.

Keduanya sama-sama memandang pembahasan tentang ‘ada’ sebagai realitas. Namun titik perbedaannya, Heidegger melihat eksistensi manusia sebagai referen konsep ‘ada’ yang bersifat ada untuk sementara. Durasi keberadaannya sepanjang usia kehidupannya saja. Berbeda dari Heidegger, Sadrul Muta’allihin melalui pandangan filsafatnya mengokohkan argumentasi mengenai durasi keberadaan manusia yang melampaui usia kehidupannya di dunia.

Pendapat yang terakhir tersebut memberikan penguatan secara rasional ajaran islam yang secara teologis mengajarkan keimanan kepada hari akhir yang kita sebut sebagai alam akhirat. Ada hukum-hukum tersendiri di alam itu dalam memperlihatkan kebesaran dan keadilan Allah. Oleh karenannya, islam sebagai agama yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap keselamatan di akhirat tentu jauh dari pertimbangan-pertimbangan pendek yang murni bersifat pragmatis didasari kepentingan-kepentingan material sesaat.

Cara pandang yang demikian merupakan corak yang telah dibangun pesantren sejak berpuluh-puluh tahun silam. Karenanya, pesantren tidak boleh kehilangan corak yang sudah menjadi ruhnya tersebut. Lembaga pendidikan keagamaan ini harus selalu mengedepankan aspek ukhrawi dalam mengawal setiap langkah partisipasinya kepada umat dan generasi.

Maka, sepanjang arus waktu sejak dulu, kini dan nanti, pesantren telah dan akan terus mempertahankan dan mewariskan paradigma yang lintas dimensi dalam warna yang dinamis dan ramah.

Ainul Yakin

Ainul Yakin

Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×