RUMAHKU LEBIH LENGKAP DARI MALL TAPI LEBIH SEPI DARI KUBURAN

Bagikan

Jika pertanyaan tersulit itu ada, maka ia bukanlah tentang bagaimana menghasilkan penemuan teknologi yang melebihi Artificial Intelligent (AI) yang tak bisa memastikan masa depan anda itu, melainkan pastilah tanya itu tentang bagaimana menjadi diri sendiri.

Mengapa ia demikian sukarnya ?. Ingat-ingat saja di depan cermin seseorang sering menggerutu tipis mengutuk berbagai ketaksempurnaan dirinya. Hidung mengapa tak semancung artis A, kulit wajah tak seputih selebgram B, bibir tak semenarik dia yang di iklan C dan masih seribu alasan lain yang menyisakan rasa murung berkepanjangan dan mental bosan serta membosankan lainnya.

Sederet sumpah serapah sampai penolakan akut oleh diri sendiri tanpa henti menjadi konsumsi sepanjang waktu bagi si diri. Apakah diri memang dibentuk demikian buruknya ?. Selain itu, keadaan menjadi tambah runyam karena kekeliruan banyak orang dalam memandang perkara yang satu ini : Kesendirian.

Banyak orang memilih menyerah dalam kesendiriannya untuk berdialog mesra dengan dirinya sendiri sebagai bagian yang memiliki keintiman terdalam sebelum siapapun di belahan dunia manapun. Alih-alih memintal relasi terbaik dan berdamai dengan diri justru kesendirian buru-buru disinonimkan dengan kesepian dan kehampaan. Sebuah petaka yang kritis dan dinilai darurat untuk mendapatkan penanganan serius. Maka banyak orang yang menjawabnya dengan membuat janji ketemu bersama sang bestie untuk bertukar-tambah sejuta pembahasan yang tak melebihi kata-kata semata. Dengan begitu, mereka merasa telah melewati waktu dengan selamat.

Dari maraknya kelompok orang-orang yang takut akan mala berupa kesepian seperti itu maka tempat-tempat yang strategis untuk membangun pertemuan serta perjumpaan baik yang nyata maupun maya menjadi satu-satunya pilihan untuk dijadikan rumah sakit tempat berobat dari penyakit tak berkesudahan yang tengah dideritanya atau lahan kosong yang tepat sebagai tempat mengubur segala bentuk rasa pilu akibat penolakan demi penolakan diri terhadap dirinya sendiri.

Pelarian-pelarian yang demikian sebetulnya tak lebih dari sekedar identitas. Dalam kerumunan dan atau tempat ngumpul identitas dengan cepat bisa didapat. Kerumunan yang kerap menjelma menjadi perkumpulan dan komunitas menjanjikan hal itu walaupun tak jarang hanyalah identitas semu dan palsu. Misalnya saja, identitas “berani” tiba-tiba melekat tanpa disadari oleh seseorang yang tergabung dalam aliansi tertentu saat berhasil menolak kebijakan tertentu dengan melakukan aksi demo, identitas “peduli dan setia” diperoleh saat  menumbangkan nyawa yang tak bersalah karena harus membela rekan tanpa tau-menau sebabnya dengan bergabung utnuk tawuran. Padahal pada dasarnya itu semua karena dia tak sanggup melakukannya sendirian. Bagaimanapun, dalam kesendirian itu tak ada identitas yang bisa dibanggakan.

Karenanya, identitas harus segera dimiliki agar seseorang bisa menerima keberadaan dirinya, dengan begitu ia bisa memastikan bahwa dirinya ada. Setelah itu, ia bisa dengan percaya diri merajut hubungan sosial dengan orang lain.

Tak hanya itu, pelarian berikutnya adalah gawai. Bagaimana dengan yang menjadikan gawai sebagai perisai untuk menangkis pukulan keras dari ketakpuasan yang dipeliharanya sendiri di setiap kesempatan ?. Ini lebih rugi. Kabarnya, benda kecil berbentuk persegi tersebut bisa memberikan dampak negatif melalui radiasi serta potensinya untuk membuat orang addict. Dengan kesaktiannya ia bisa memanjakan siapapun dengan suguhan informasi yang berganti lebih dari seribu jenis di setiap detiknya. Amazing..

Memanjakan berarti sedang memproduksi cara paling jitu untuk menghipnotis orang agar ia bisa dengan mudah melupakan dirinya. Semakin jauh manusia lari menuju ke luar diri, semakin jauh pula ia dari ingatan akan dirinya. Betapa naasnya nasib sang diri. Ia memang tak pandai menyukai dirinya sendiri. Apakah ini kesalahan mata yang didesain menjurus ke depan sehingga mata tak gampang memandang diri sendiri ? Harusnya kita tak salah. Mata didesain berada pada kepala yang ditopang leher yang memiliki kemampuan berbelok ke banyak arah. Maka memandang diri sendiri, kuncinya pada kesanggupan mengarahkan gerak leher saja.

Jika masih malas menggerakkan leher juga, motivasinya adalah ternyata identitas yang asli dan asali itu ada dalam diri sendiri. Dalam ke-diri-annya, diri memiliki potensi untuk membentuk identitasnya yang paling hakiki. Dengan berjarak dari selain diri pelan-pelan akan terbentuk eksistensi diri tanpa harus bergantung pada orang lain.

Maka dengan demikian, peduli terhadap diri sendiri akan tampak dengan cara yang lebih berbeda. Jika sebelumnya hanya pada taraf memuaskan kehendak yakni dengan mengambil peran dalam kerumunan, maka dalam level ini lebih kepada menggiring diri untuk meningkatkan kualitas pribadi yang lebih baik. Ini keterampilan baru.

Keterampilan tersebut membuat kesendirian bahkan jomblo, ini sadis gaes, tak lagi dianggap mencekam, namun menyimpan manfaat. Demikian juga dengan kebergantungan pada gawai, seseorang yang mampu melepaskan diri dari sihir tercanggih ini, ia bisa hidup dalam dunia yang faktual, bukan maya dan murni digital.

Rupa-rupanya ini darurat. Kebergantungan pada kerumunana serta kecanduan pada gawai telah merenggut modal terbesar manusia berupa waktu yang sejatinya bisa digunakan untuk menggapai mimpi-mimpi indah di masa depannya.

Walaupun ini bukanlah perkara waktu an sich, namun kesadaran akan waktu membuat orang tak sudi menolak kehadiran dirinya sendiri dengan segenap serba-serbinya. Bagaimanapun, terlampau banyak perkara yang mesti diatasi dengan rutin berdialog serta mampu untuk bersepakat dengan diri sendiri. Beberapa di antaranya seperti disiplin atau istiqamah, tawakkal, qonaah, kerja keras, tidak bergadang, tidak rakus, zuhud, zikir, membaca, tenang, kuat dan beberapa hal lain yang pada gilirannya akan menyublim menjadi nilai-nilai luhur.

Dengan begitu, diri adalah rumah. Tempat pulang dan berteduh. Setelah tau ia sangat kaya untuk sebuah eksistensi dan identitas maka ia tampak lebih lengkap dari mall. Namun paradoks, saat tau ia tak dilirik oleh banyak diri, ia terlihat lebih sepi dari kuburan.

Ada kekhawatiran jika kemudian peduli diri sendiri ini tak lagi mengindahkan tuntutan sosial. Tentu kebermanfaatan pada sesama tak akan pernah dipandang sepele dan remeh. Namun sebuah ungkapan menarik: Fa>qidu al-shai’ la> yu’ti>hi (seseorang yang memiliki sesuatu maka ia tak mungkin memberikan sesuatu itu) juga tak bisa dilepaskan begitu saja.

Peduli diri sendiri bukanlah tentang egoistic yang merupakan kekeliruan dalam menata diri melainkan sebuah upaya untuk memberikan yang terbaik bagi diri sendiri. Maka membentuk identitas diri tanpa keluar diri adalah cara untuk mengoptimalkan potensi diri. Diri-diri yang berkualitas akan bisa menularkan kualitasnya kepada diri-diri yang lain. Karenanya, sebelum seseorang hendak menularkan apapun kepada orang lain, ia harus dipastikan selesai dulu dengan dirinya sendiri

Ibda ’binafsika. Mulailah dari dirimu sendiri.

Ainul Yakin

Ainul Yakin

Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×