KELAHIRAN baginda nabi Muhammad SAW. di tanah arab menjadi bibit sejarah. Lahir untuk visi pembebasan, tumbuh besar dalam bendera keteladanan serta mewariskan seperangkat referensi kebahagiaan. Dikala bangsa padang pasir berlumuran ideologi-ideologi sukuisme, bersimbah paradigma pria-sentris dan tersayat oleh luka-luka teologi yang polytheis, muncullah dia dengan semangat profetiknya. Mengusung nilai-nilai antitesa terhadap kultur-kultur yang keruh.
Setiap antitesa adalah perlawanan. Dan perlawanan, oleh Abdul Munir Mulkhan dalam buku bukunya Teologi Kiri, di-kiri-kan. Dan setiap “yang kiri” selalu menjadi lawan kemapanan. Tak terkecuali perlawanan profetik. Sehingga ada yang memahami bahwa semangat profetik bergerak dalam ritme anti mainstream. Menolak kemapanan. Yang mapan adalah yang dianut namun kadang tak dipuja.
Maka sebagai sebuah tawaran yang tak mengancam, Seruan profetik nabipun menyelinap ke dalam sanubari orang-orang sehingga mendapatkan afirmasi dari banyak kalangan. Saat itu, tidak sedikit masyarakat yang mendambakan tatanan yang lebih baik dalam banyak lini kehidupannya, seperti dalam agama, sosial, gender bahkan keluarga. Dalam sejarahnya, manusia memang tak luput dari harapan-harapan yang ideal.
Idealitas yang dicerminkan nabi dalam kesehariannya menjadi jawaban atas harapan-harapan itu. Karenanya, dakwah nabi tak bisa ditolak kecuali oleh para pembangkang kebenaran. Selama seseorang masih melirik arti penting kebenaran, dakwah-dakwah nabi yang persuasif pasti menjangkau nurani mereka.
Alunan sebuah seruan yang persuasif dalam membentuk tatanan baru diperlihatkan Daenerys targaryen dalam Game Of Thrones. Ibarat angin segar menyergap tubuh yang kepanasan. Begitu ibu dari tiga naga tersebut mendatangi kota-kota pemerintahan seperti Slavers Bay dan beberapa kota pemerintahan kecil lainnya, kata-katanya selalu mengagetkan. Ia memberikan pilihan “lepas” atau “bergabung”. Sebuah ruang kemerdekaan yang tak terdengar kecuali dari mulutnya. Raja lain masih mengidolakan sistem otoriter yang angkuh.
Meskipun banyak yang memilih bergabung namun tak sedikit pula yang memilih lepas walau harus berhadapan dengan masa depan yang masih teka-teki. Demikianlah orang tertindas, berhasrat lepas dan terbang menjauh.
Semakin Daenerys tunduk pada kata-katanya sendiri, desas-desus kemuliaannya terdengar meluas tak terbendung. Ia pun semakin dinanti oleh kota lain yang memimpikan kemerdekaan. Hingga dialog meluas dan bertemu Jon Snow. Dingin dan tak pandai bicara kosong. Hidupnya terbatas pada pedang dan pengabdian. Kepribadiannya mulia. Dalam waktu yang tak lama, Daenerys menaruh hati padanya, lalu keduanya saling menghimpun asmara yang sama.
Tetapi, nabi Muhammad SAW. tak seperti Daenerys. Di penghujung manuvernya, Daenerys memergoki kerajaan Kings Landing –kerajaan terbesar itu- dengan serangan brutal melalui setiap semburan api oleh keganasan anak-anaknya. Sang naga mengepakkan sayap, meluluh-lantahkan kota yang rapi dan menjadi pusat niaga masyarakat tersebut. Tak tersisa kecuali beberapa orang saja. Selain itu tampak puing-puing, abu dan asap.
Daenerys disilaukan kekuasaan. Nabi Muhammad SAW. sebagai teladan yang harus membumi, berhasil mengawal visi kenabiannya sampai titik penghujung. Tak haus tahta. Tak berhasrat pada kepuasan syahwat material. Prestasi itulah yang membuatnya terus dikenang. Hari lahirnya di-maulid-kan. Nilai-nilai dakwahnya digali, bahkan pola hidupnya di-sunnah-i umat.
Bagaimanapun, dalam teologi islam, para teolog membahas nur-nya sebelum sosoknya. Keberadaannya sebelum alam semesta. Bahkanan alasan penciptaan alam semesta ini karena nur tersebut.
Sebagaian sufi menyampaikan bahwasanya pada maqam ahadiyyah, Allah tersembunyi dalam keesaan diri-Nya. Ia pun tak menerima penampakan. Namun pada maqam wahidiyyah-Nya, Dia pun ber-tajalli. Menerima penampakan lalu dikenal oleh segenap makhluq. Perantara antar maqam ahadiyyah dengan wahidiyyah inilah ada nur Muhammad.
Maka, padanya segenap alam semesta berhutang esksistensial. Tak satupun yang akan meng-ada tanpa keberadaan dia terlebih dahulu. Dan tak ada yang menjadi aneh pada serangkaian rantai ada-mengada ini. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.
Pembicaraan maulid terus berulang setiap tahun sejak digagas oleh Salahuddin Al-Ayyubi dalam rangka mengenang dan meneladani pribadi sang uswah. Namun sebetulnya sebelum maulidnya yang fisik sebagai Muhammad yang terlahir di semenanjung Arabia, ada maulid sosoknya yang non fisik. Al-haqiqah al-muhammadiyyah.
Muhammad Nuruddin, penulis yang akhir-akhir ini getol membumikan ilmu manthiq di tanah air mengutip pendapat Syekh Yusri, seorang mursyid thariqah Syadziliyyah di Mesir sekaligus pengajar tasahawwuf Al-Azhar. Sang Syekh mengistilahkan al-haqiqah al-muhammadiyyah dengan al-ruhaniyyah al-muhammadiyyah.
Sebagai al-ruhaniyyah al-muhammadiyyah, nama baginda nabi adalah Ahmad. Demikian sehingga Isa as. saat mengabarkan kedatangannya sebagai pelanjut kelak, ia menyebutnya dengan ahmad. Syekh Yusri melihat bahwa huruf mim yang ada di tengah kata “ahmad” adalah mim al-mukawwanat. Mukawwanat bermakna ciptaan. Jika mim tersebut dibuang maka terbentuk kata baru ‘ahad’. Menggambarkan ahadiyyah-Nya Allah. Isyaratnya : Dari ahadiyyah-Nya, Tuhan bertajalli ke dalam wahidiyyah-Nya berkat nur Muhammad.
Seakan sebuah rahasia eksistensial. Penciptaan alam semesta menjadi obrolah sains yang semakin hari semakin ramai, namun tak menyentuh yang satu ini. Sains memang berurusan dengan hukum-hukum fisik. Ia pun telah mengungkap rahasia sampai batas yang menakjubkan. Namun teologi menyempurnakan capaian tersebut dan menjadi hidangan mewah bagi keimanan kita hari ini.
Kepada dikau Sang pangkal semesta. Shallallahu ‘alaika ya rasulallah.
Ainul Yakin
Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA