Keseimbangan yang baik dibangun di atas latihan berbahaya. Ketenangan yang total diasah serangan-serangan yang mengancam nyawa. Dan kecepatan yang seakan tak menyisakan bayangan didapat dengan keterampilan bertempur tanpa jeda. Dunia beladiri dalam mencetak pendekar-pendekar tangguh memang bukan dari buah, tapi selalu dari akar.
Seperti yang dilakukan anak-anak Hui. Tak satupun dari mereka tak diajarkan “Latihan Delapan belas Pukulan Pertempuran” dan “Tinju Diagram Delapan” hingga melekat pada tubuh dan pikiran mereka.
Wang Zi-Ping merupakan ahli kung fu aliran wushu yang terkenal dari suku Hui ini. Masa kecilnya selain latihan mengangkat batu berat untuk membangun stamina, ia memiliki kebiasaan belajar membaca Al-Qur’an. Suku Hui yang tinggal 20 km dari utara kota terlarang (Beijing) beragama islam. Wushu adalah identitas mereka.
Zi-Ping kecil kerap mendapat latihan dengan ditanam dalam tanah. Ini bukan latihan fisik semata, konon, ia melantunkan zikir sepanjang praktek ekstrem itu sehingga bisa memperoleh kekuatan dan keseimbangan yang terus bertambah. Shalatpun -bagi mereka- membekas pada konsentrasi yang akan terus mengalir dalam wushu mereka.
Saat usia beranjak muda, Zi-Ping terlibat gejolak bangsa yang berhasrat saling kuasai. Ia menyaksikan pemberontakan boxer saat pemerintahan dinasti Qing pertengahan tahun 1980-an di Changzou, tempat suku Hui berada.
Setelah pemberontakan berhasil ditumpas, ia melarikan diri ke Jinan di Provinsi Shandong. Dalam pelariannya, ia bertemu Yang Hongxiu yang merupakan grandmaster Wushu. Sebagai sesama pelarian, Wang Zi-Ping pun belajar banyak dari Hongxiu, salah satunya seni Cha Quan. Sejak itu, Wang Zi-Ping membangun reputasinya dengan perlahan. Ia mengembangkan “Quan Sdr Er Shr” (Dua puluh Jurus) serta “Ching Long Jian” (Pedang Naga Hijau).
Proses dalam menempuh tujuan selalu menjadi nomor wahid untuk diperhatikan siapa saja. Ini prinsip yang berlaku universal. Dalam bidang apapun jua, hasil yang memuaskan merupakan penghujung dari serangkaian proses yang panjang. Sebuah untaian hikmah datang dari Ibn Atha’illah dalam kitabnya, Al-Hikam :
اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ
“Kuburlah wujudmu (eksistensimu) di dalam bumi kerendahan (ketiadaan); maka segala yang tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya.”
Penguburan eksistensi tak melulu diinterpretasikan sebagai ikhlas saja. Namun secara kekinian, pembacaan yang sah terhadap prinsip tersebut salah satunya adalah tenggelam dalam kenikmatan intelektualitas. Bagaimanapun, keilmuan seseorang tak akan tampak cepat melainkan sangat perlahan. Sebagai buahnya, seperti revolusi di eropa yang tak terjadi seketika hanya dalam hitungan hari ataupun bulan.
Analogi dalam untaian hikmah tersebut tepat. Tetumbuhan yang tak ditanam dengan baik, tak akan memberikan buah yang baik pula. Hari ini, anak muda seakan melakukan lompatan waktu. Dari tradisi tak mengenal tulisan kepada tradisi tak peduli tulisan. Goenawan mohamad dalam bukunya Pada Masa Intoleransi melihat demikian.
Artinya, ada celah yang kosong luput diisi. Alih-alih akan ditutup dengan semangat literasi, justru gawai yang mengambil peran. Semua orang tersentak. Tak satupun yang tak kaku. Ada bentukan psikologis dari alat komunikasi genggam tersebut. Seluruhnya lesu untuk berproses.
Cara kerja gawai adalah tak menjanjikan ketenangan, namun berisi banyak pilihan. Ia kerap dijadikan pelarian. Kata Reza wattimena, disebabkan gawai, manusia menjadi tak siap menghadapi kecemasan. Mereka nyaris tak pernah hidup dengan getir.
Segalanya bisa dipercepat. Yang berdurasi lama dinilai lambat dalam menyajikan kesenangan. Akibatnya, segala dinamika kehidupan yang dilaluipun menjadi hambar. Tentu Zi-Ping tidak tumbuh bersama gawai. Ia hidup bersama tanah, pukulan dan pemberontakan.
Masa lalu yang pahit yang memaksa Zi-Ping berlatih wushu lebih tekun dibanding anak-anak lain sezamannya telah membentuknya menjadi pendekar yang hebat. Di usia dewasanya, berkat penguasaannya yang tinggi atas Cha Quan, Hua Quan, Bajiquan, Pao Chuan, dan Tai Chi Chuan, ia dipercaya sebagai pemimpin Kung Fu Shaolin divisi Seni Bela Diri dan juga Wakil Ketua Asosiasi Wushu China.
Barangkali Zi-Ping adalah penanam benih yang ulung. Buah yang dipetikpun tampak ranum dan nikmat di lidah. Zi-Ping pernah lama sebagai anak muda yang tak hanyut dalam kesenangan sesaat dengan menjadi pemalas.
Seandainya para pelajar siap bergelut untuk sebuah proses.
Andaikan mereka butuh masa lalu yang keras.
Jika saja semua mereka tak akrab dengan gawai.
Ainul Yakin
Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA