Idul Adha, yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, merupakan salah satu hari besar umat Islam yang dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah. Hari raya Idul Adha menjadi puncak ibadah haji, dimana jutaan umat Islam di seluruh dunia berkumpul di Mekkah untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. Idul Adha juga identik dengan penyembelihan hewan kurban.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana sejarah Idul Adha? Mengapa hari raya ini identik dengan penyembelihan hewan kurban? Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel berikut ini.
1. Sejarah Idul Adha
1.1 Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam Dikaruniai Anak Laki-Laki
Sejarah Idul Adha bermula dari kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, seorang nabi yang sangat taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Diceritakan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang sudah berusia 85 tahun belum dikaruniai anak dan menginginkan kehadiran anak laki-laki untuk meneruskan perjuangannya dalam menegakkan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia berdoa setiap hari, yang doanya diabadikan dalam ayat Al-Qur’an yang memiliki arti:
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Ash-Shaffat [37]: 100)
Setelah bertahun-tahun berdoa dan berharap, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan istri keduanya yaitu Siti Hajar, akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Kehadiran Ismail sangatlah dinantikan dan menjadi anugerah yang besar bagi mereka.
1.2 Siti Hajar Bolak Balik dari Shafa ke Marwah
Ketika Ismail masih bayi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam untuk membawa Siti Hajar dan Ismail ke sebuah lembah tandus yang kelak dikenal sebagai Mekkah. Ia juga memerintah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam untuk kembali ke istri pertamanya yaitu Siti Sarah ke Yerusalem. Namun Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan Siti Hajar tetap ikhlas dan tawakal dalam menerima perintah-Nya, yang diabadikan dalam bentuk ayat Al-Qur’an:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezeki lah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim [14]: 37)
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam meninggalkan Ismail dan Siti Hajar di sana dengan hanya sedikit bekal. Ketika bekal air habis, Siti Hajar, dalam kepanikannya, berlari bolak-balik selama 7 kali antara bukit Shafa dan Marwah mencari air untuk anaknya. Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mengabulkan doa Siti Hajar dengan memunculkan mata air yang akhirnya dinamakan air Zamzam dari bawah kaki Ismail.
Peristiwa Siti Hajar lari bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah menjadi bagian dari ritual haji yang disebut dengan nama Sa’i. Setelah melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah), para jemaah haji berpindah ke Shafa dan berjalan cepat menuju Marwah. Hal tersebut dilakukan sebanyak tujuh kali perjalanan pulang pergi, seperti yang dilakukan Siti Hajar.
Adapun mata air yang keluar dari hentakan kaki Ismail yang disebut dengan air zamzam menjadi sumber air minum utama bagi jemaah haji dan umroh di Mekkah. Air Zamzam terkenal dengan keutamaan dan khasiatnya sebagai air yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
1.3 Mimpi Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam untuk Menyembelih Putranya
Salah satu kisah paling menonjol dalam sejarah Idul Adha adalah saat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam menerima perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui mimpi untuk menyembelih putranya, Ismail. Ini tentu membuat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam bingung. Pasalnya, walaupun Ia sangat menyayangi anaknya, ini merupakan perintah langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akhirnya, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam pun memberanikan diri mengajak Ismail berbicara tentang perintah-Nya untuk menyembelih putranya. Jawaban Ismail pun bersedia untuk dijadikan kurban, sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
1.4 Allah Subhanahu Wa Ta’ala Mengganti Ismail dengan Domba
Meskipun sangat berat, baik Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam maupun Ismail menunjukkan ketaatan yang luar biasa. Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam bersiap untuk melaksanakan perintah tersebut dengan penuh keikhlasan. Saat prosesi penyembelihan tiba, kedua tangan dan kaki Ismail diikat di lantai. Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam memejamkan mata, memegang pisau ke arah leher Ismail dan penyembelihan dilakukan. Namun, dengan kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala, posisi Ismail diganti dengan domba yang diturunkan dari langit. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an di surat As-Shaffat ayat 107-110 yang berarti:
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Ash-Shaffat [37]: 107)
“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian” (Ash-Shaffat [37]: 108)
“(Yaitu) Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim” (Ash-Shaffat [37]: 109)
“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Ash-Shaffat [37]: 110)
Sebagai bentuk peringatan dan penghormatan atas kejadian ini, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah kurban setiap Idul Adha.
2. Hikmah dari Sejarah Idul Adha
2.1 Perintah Melaksanakan Haji
Salah satu hikmah dari sejarah Idul Adha adalah perintah untuk melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Ibadah haji yang dilakukan setiap tahun di Tanah Suci Mekkah mengingatkan umat Islam akan keteladanan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan keluarganya. Rangkaian ibadah haji, termasuk Sa’i antara Shafa dan Marwah, serta penyembelihan hewan kurban, merupakan bentuk penghormatan dan penghayatan terhadap peristiwa sejarah tersebut.
2.2 Perintah untuk Berkurban
Hikmah lainnya adalah perintah untuk berkurban. Dengan berkurban, umat Islam diajarkan untuk berbagi dan peduli terhadap sesama, terutama kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Kurban juga mengajarkan tentang keikhlasan dalam beribadah dan pengorbanan harta yang kita miliki.
2.3 Ketaqwaan dalam Menjalankan Perintah Allah Subhanahu wa ta’ala
Kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan Ismail menunjukkan tingkat ketaqwaan yang tinggi dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Meskipun perintah tersebut sangat berat, mereka tetap melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan ketundukan. Ini menjadi teladan bagi umat Islam untuk selalu taat dan tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa ta’ala, meskipun terkadang terasa berat dan sulit.
2.4 Sosialisasi Antar Umat Manusia
Pembagian daging kurban kepada fakir miskin dan tetangga sekitar menjadi momen penting dalam Idul Adha. Hal ini mengajarkan tentang pentingnya kebersamaan dan kepedulian sosial. Dalam suasana Idul Adha, umat Islam diajak untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang beruntung.
2.5 Peningkatan Kualitas Diri
Ibadah kurban juga mengandung hikmah peningkatan kualitas diri. Dengan berkurban, umat Islam diingatkan untuk membersihkan diri dari sifat kikir dan egois. Selain itu, berkurban juga mengajarkan tentang pentingnya berkorban demi kebaikan bersama, serta memperkuat solidaritas dan persaudaraan di antara umat manusia.
3. Bagaimana Cara Melaksanakan Ibadah Kurban?
3.1 Dilaksanakan Tepat Setelah Shalat Ied Idul Adha
Ibadah kurban dilaksanakan tepat setelah pelaksanaan shalat Ied Idul Adha. Ini sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang menganjurkan untuk menyembelih hewan kurban setelah selesai melaksanakan shalat Idul Adha, yang ada dalam hadits yang berbunyi:
“Barang siapa menyembelih kurban sebelum Shalat Hari Raya Idul Adha, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih kurban sesudah Sholat Idul Adha dan dua khotbahnya, sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadah nya dan ia telah menjalani aturan Islam.” (HR. Bukhari).
3.2 Orang yang Berkurban Hanya Boleh Mengambil ⅓ Daging
Menurut ajaran Islam, orang yang berkurban hanya boleh mengambil sepertiga dari daging kurban untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Sisanya harus dibagikan kepada fakir miskin dan tetangga sekitar. Ini mengajarkan tentang keadilan dan kepedulian sosial. Ketentuan ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
“Siapa yang menyembelih hewan kurban, maka janganlah dia memakan seluruh dagingnya, tetapi hendaklah dia membagikan sepertiga kepada fakir miskin, sepertiga kepada tetangga, dan sepertiga untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 5537 dan HR. Muslim no. 1951)
Pembagian daging kurban ini mengajarkan tentang keadilan dan kepedulian sosial. Kita diingatkan untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Dengan demikian, ibadah kurban menjadi lebih bermakna dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.
3.3 Hewan Diusahakan yang Paling Gemuk
Disunnahkan untuk memilih hewan yang paling gemuk dan sehat sebagai kurban. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dan sebagai upaya memberikan yang terbaik dalam ibadah. Hal ini sesuai dengan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang ada dalam hadits yang berbunyi:
“Dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin berkurban, kemudian membeli dua ekor domba yang besar, gemuk, bertanduk, berwarna putih bercampur hitam, dan dikebiri. Kemudian ia menyembelihnya…”(HR. Ibnu Majah dan dishahihkan Al- Albani).
4. Jenis Hewan Kurban yang Dapat Disembelih
Pada ibadah qurban, terdapat ketentuan-ketentuan tertentu mengenai jenis hewan yang dapat dijadikan kurban. Pemilihan hewan kurban ini bukan hanya berdasarkan pada jenisnya, tetapi juga kondisi fisik dan kesehatan hewan tersebut. Berikut adalah penjelasan mengenai jenis hewan yang sah untuk dijadikan kurban sesuai syariat Islam.
4.1 Hewan Ternak
Hewan ternak yang dapat dijadikan kurban meliputi unta, sapi, kambing, dan domba. Unta dan sapi biasanya dipilih untuk berkurban oleh kelompok, sedangkan kambing dan domba umumnya dipilih untuk kurban individu. Hewan-hewan ini dipilih karena mereka memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dagingnya dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.
4.2 Diutamakan Jantan
Hewan kurban yang disunnahkan untuk disembelih adalah hewan jantan. Meskipun demikian, tidak ada larangan untuk menyembelih hewan betina. Pemilihan hewan jantan lebih diutamakan karena secara umum hewan jantan memiliki daging yang lebih banyak dan fisik yang lebih kuat. Hal ini juga mengikuti contoh yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai riwayat hadits.
4.3 Usia Minimal Hewan
Usia minimal hewan yang sah untuk dijadikan kurban juga telah ditetapkan. Untuk unta, usia minimalnya adalah lima tahun. Untuk sapi, usia minimalnya adalah dua tahun, yang artinya sudah melewati dua kali musim kawin. Sementara untuk kambing dan domba, usia minimalnya adalah satu tahun, yang artinya sudah melewati satu kali musim kawin. Penentuan usia ini penting karena hewan yang lebih tua biasanya memiliki kualitas daging yang lebih baik dan telah mencapai kematangan fisik yang layak untuk dikurbankan.
4.4 Sehat
Kondisi kesehatan hewan yang akan dikurbankan harus baik. Hewan yang sakit, cacat, atau memiliki kelainan fisik tidak sah untuk dijadikan kurban. Hewan yang sehat akan menghasilkan daging yang lebih berkualitas dan layak untuk dikonsumsi. Hal ini diriwayatkan dalam hadits Nabi yang disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban yang berbunyi:
Dari Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata; “Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban:
(1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.”
Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih sangat penting untuk memastikan bahwa hewan tersebut bebas dari penyakit dan layak untuk dijadikan kurban.
4.5 Tidak Dalam Keadaan Birahi atau Menyusui
Hewan yang akan dijadikan kurban tidak boleh dalam keadaan birahi atau menyusui. Hewan dalam keadaan birahi dapat menunjukkan perilaku yang tidak stabil, sedangkan hewan menyusui membutuhkan banyak energi untuk anaknya. Mengorbankan hewan dalam kondisi ini dianggap tidak etis karena dapat mengganggu kesejahteraan hewan tersebut dan anak-anaknya yang masih membutuhkan susu. Selain birahi dan menyusui, hewan juga tidak boleh dalam keadaan hamil.
Sejarah Idul Adha mengandung banyak hikmah dan makna yang sangat berharga bagi umat Islam. Dari kisah keteladanan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan keluarganya, kita dapat belajar tentang ketaatan, keikhlasan, dan pengorbanan dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Melalui kurban, kita diajarkan untuk berbagi dengan sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan, serta mempererat tali persaudaraan di antara umat manusia. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari sejarah dan pelaksanaan Idul Adha, serta selalu berusaha untuk menjadi hamba yang lebih taat dan peduli terhadap sesama.