Oleh Ainul Yakin
Islam sudah tua. Kita tak mengharapkan ia terkubur dan meninggalkan manusia. Ia masih bisa bertahan karena selalu menyimpan jawaban-jawaban problematika dunia. Islam menghimpun seperangkat kearifan yang komperehensif sebagai senjata untuk manusia dalam mengarungi pergulatannya melawan sang nafsu. Dalam menapakai tangga penghambaan kepada sang Ilahi, manusia sesungguhnya tidak kekurangan bekal.
Manusia diciptakan sebagai Khalifatullah Fil Ardh. Istilah tersebut dimaknakan oleh sebagian ulama sebagai ‘pengganti Allah di bumi’. Allah sebagai pencipta, tentu menghendaki bumi ini baik, makmur dan bermanfaat. Dengan demikian maka tidak bisa dipandang normal-normal saja jika manusia berbuat sebaliknya, yaitu membuat kerusakan di bumi dalam bentuk apapun. Itu adalah perbuatan tercela. Perintah Tuhan yang justru banyak diulangi dalam kitab suci-Nya adalah perintah agar manusia berpartisipasi aktif dalam merawat dan menyelamatkan bumi. Setelah itu manusia dibolehkan untuk berupaya mencari berbagai karunia Allah di atasnya. Memanfaatkannya dalam jalur kebaikan dan ibadah.
Dalam upaya tersebut, kalangan ilmuwan menempuhnya melalui aktivitas riset. Meneliti berbagai cara untuk mengubah dan memanfaatkan limpahan energi (fadhlullah) yang tak akan berubah itu –sesuai hukum kekekalan energi oleh fisikawan. Ilmuwan berusaha menemukan hukum-hukum universal yang sifatnya matematis, hukum-hukum fisika yang mekanis yang berlaku di alam mulai dari yang mikro sampai kepada yang makro. Dari hasil tersebut, manusia tak henti-hentinya menemukan dan memproduksi berbagai kemajuan dalam bidang berbagai bidang seperti teknologi, astronomi, kedokteran dan lainnya. Selain itu, mereka juga mengembangkan metode yang sama pada hal-hal yang sifatnya sosial dan budaya sehingga melahirkan beragam paradigma sosiologi dan antropologi yang bermanfaat dalam merawat kehiduapan kolektif manusia. Di bidang agama juga, para pemikir dari masing-masing agama menelurkan cara pandang yang ramah dan dinamis dalam menghadirkan agama di tengah umat yang heterogen dan terus berubah. Maka riset yang bisa dan telah banyak mengambil peran pada banyak bidang tersebut mesti dilestarikan dengan sebaik-baiknya.
Keberadaan peneliti dan atau pemikir sangat menentukan nasib sebuah komunitas manusia, entah itu bangsa atau agama. Hal tersebut dikarenakan dalam tradisi riset termuat semangat inovasi yang tinggi yang pada gilirannya memicu berbagai perubahan dan kemajuan. Kita ketahui bahwasanya inovasi merupakan ciri khas manusia yang tidak kita temukan pada makhluk lain. Kalaupun ada pada hewan misalnya, itu tidak lebih dari sekedar nalurinya dalam beradaptasi untuk bertahan hidup saja, sehingga sangat terbatas. Beda halnya dengan manusia. Inovasi pada manusia terkesan seakan tidak terbatas dengan adanya anugerah Tuhan berupa akal yang daya pikir dan analisisnya sanggup menembus dinding ruang dan waktu yang berlapis sekalipun.
Jika cara bersyukur atas karunia Tuhan adalah dengan memanfaatkan pemberian-Nya untuk melakukan hal baik dalam rangka beribadah kepada-Nya, maka cara dalam mensyukuri nikmat Tuhan berupa akal adalah salah satunya dengan menggunakannya untuk melakukan penelitian tadi. Penemuan-penemuan yang dihasilkan diharapkan bisa berguna dan bermanfaat kepada manusia sebagai bentuk implementasi atas perintah agama berupa tuntutan kemanfaatan kepada sesama. Kualitas manusia secara individu ataupun kolektif dinilai berdasarkan asas manfaat. Sejauh mana ia telah menebar manfaat tidak saja kepada diri sendiri melainkan kepada selainnya.
Namun anjuran-anjuran tersebut nyaris sekedar himbauan saja, tak lebih, saat kita memperhatikan realita hari ini. Haidar Baqir dalam bukunya Sains “Religious” Agama “Saintifik” yang ditulisnya bersama Ulil Abshar Abdalla mengutarakan bahwasanya negara-negara muslim hanya mempunyai kurang dari 10 saintis/insinyur/ahli teknik dari 1.000 penduduk di saat rerata global sudah mencapai angka 40 dan negara maju mencapai angka 140. Mereka hanya memberi kontribusi 1% dari paper saintifik yang terbit di dunia. Atlas of Islamic World Science and Innovation terbitan Royal Society menyebutkan bahwa para saintis di dunia Arab menghasilkan terbitan paper saintifik sebanyak 13.444 paper pada tahun 2005, atau 2.000 lebih sedikit dibandingkan dengan 15.455 paper yang dihasilkan oleh universitas Harvard sendirian.
Data tersebut menginformasikan minimnya jumlah peneliti yang islam punyai. Dengan data tersebut, maka Indonesia dan islam secara khusus berada di titik darurat riset dan saintis. Kepedulian terhadap tantangan ini mesti muncul dari banyak kalangan. Kepedulian itupun akan tampak menjadi perhatian yang bermanfaat jika minat riset pada anak-anak, remaja dan pemuda muslim terus mengalami peningkatan. Untuk melangkah ke arah itu, semangat riset harus mendapat tempat di hati dan impian para setiap generasi. Umat islam secara bersama dan sadar harus berbenah. Berbenah menjadi lebih baik adalah sebuah tuntutan. Mewariskan karya adalah sebuah cara menjadi abadi dan lebih beradab.
-Bertebaranlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah.– (Al-Qur’an).
Ainul Yakin
Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta