Momok yang paling menakutkan bagi orang kaya adalah miskin. Sementara momok yang paling menakutkan bagi orang miskin adalah kelaparan. Orang kaya takut miskin karena mereka tahu bahwa orang miskin saja tidak mau terus-terusan menjadi miskin. Sebagai buktinya mereka terus berusaha mencari cara untuk menjadi kaya. Separuhnya berhasil dan separuhnya gagal karena diantara mereka ada yang lupa untuk menjadi kaya dan sebagian besar sisanya memang tidak tahu caranya sehingga lebih memilih untuk melupakannya.
Oleh karena itu, orang kaya berjuang untuk tidak jatuh ke dalam lembah kemiskinan. Mereka takut kehilangan kesempatan menikmati segala kemewahan yang dimilikinya hari ini. Dalam bayangan mereka itu adalah sebuah petaka yang akan merenggut kebahagiaannya. Berbeda dengan orang kaya orang miskin berjuang paling tidak agar tidak tertimpa kelaparan. Bagi mereka, itu ancaman paling sejati yang bisa mengakhiri hidupnya.
Antara kaya dan miskin memang terdapat banyak perbedaan namun tidak boleh ada gap antar keduanya. Dalam ajaran islam, keduanya dipertemukan lewat sebuah ibadah puasa Ramadhan. Puasa pada bulan ini wajib sehingga setiap muslim harus menjalaninya. Selama berpuasa tidak diperkenankan untuk makan ataupun minum sehingga banyak yang melihat puasa ini identik dengan lapar padahal tidak demikian.
Selain lapar dan kenyang sebetulnya ada juga suatu keadaan yang sering dialami oleh perut. Itulah sebuah keadaan yang belum terbahasakan dan itulah yang kerap dirasakan orang berpuasa. Ia tidak lapar sekaligus tidak kenyang melainkan di antara keduanya. Dan dalam keadaan perut berpuasa, tubuh mendapatkan keadaannya yang paling ideal untuk beraktivitas. Ini membuktikan bahwa puasa bermanfaat untuk kesehatan seseorang. Oleh karenanya, menyadari hal itu mestinya tak satupun orang takut untuk berpuasa.
Orang miskin misalnya yang sudah biasa dengan keterbatasan persediaan makanan bisa menyikapinya dengan menjalani hari-harinya tanpa makan tetapi diniatkan sebagai sebuah puasa. Selain tetap sehat, ia kreatif memanfaatkan keterbatasannya sebagai ladang ibadah sendiri. Alih-alih menyebutnya puasa keterpaksaan, saya memakai puasa alternatif sebagai sebuah proses menuju puasa yang natural. Dalam kata natural ada keikhlasan sehingga tak terkesan ada paksaan dari manapun.
Orang kaya berjuang lebih keras untuk berpuasa. Mereka tak biasa dengan keterbatasan walaupun bukan berarti mereka selalu makan, bahkan merekapun terbiasa tidak mengkonsumsi apapun sampai durasi dua belas jam juga tetapi pada malam hari. Puasa menjadi bermakna bagi mereka karena harus dijalaninya siang hari dimana aktivitas makan memang paling sering mereka lakukan berulang kali di waktu tersebut. Kerja-kerja berpuasa inilah yang nanti akan mewarisi rasa empati mereka kepada yang miskin.
Empati itu muncul bukan karena mereka menghayati apa yang dirasakan perutnya selama berpuasa karena –sekali lagi- saat itu perut tidak sedang lapar, tetapi empati tumbuh dari daya juang menahan diri untuk tidak memanjakan diri dengan mengikuti kebiasaan dan pola makannya sehari-hari dalam durasi tertentu disaat persediaan makanan di sampingnya tetap ada bahkan melimpah jumlahnya. Dengan begitu dia akan mengerti bagaimana si miskin yang setiap harinya hidup serba terbatas sehingga tak pernah leluasa menikmati menu makanan yang beragam dan mewah. Hatinya lalu pelan-pelan akan menjadi lebih peduli.
Pada titik itulah kesenjangan akan mulai redup dan berganti keseimbangan. Orang kaya bisa tergerak hatinya untuk berbagi kebahagiaan. Dan inilah taqwa itu. Sebuah kebaikan yang lahir dari semangat yang ilahi dan berdampak baik dalam membentuk kemanusiaan seseorang menjadi lebih peka. Pada aspek sosial, puasa menjadi perekat antara yang berpunya dengan yang papa.
Kesenjangan tak menghasilkan apapun kecuali ketimpangan antar sesama. Pada gilirannya akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas hidup bermasyarakat. Maling-maling kemakmuran akan terus bermunculan. Mereka tak henti-hentinya memperkaya diri di tengah tangisan kaum yang tak mampu menghidupi anak-anaknya. Inilah kemewahan yang berdiri di atas jeritan tangis kaum yang lemah. Tentu itu adalah situasi yang sulit dicarikan obatnya sementara keadaan tak boleh dibiarkan semakin buruk. Salah satu penawar yang manjur bagi luka sosial yang pincang seperti itu adalah kepedulian dari yang berpunya. Caranya hanya dengan berpuasa. Sangat ajaib dan sakti.
Berpuasa memantik orang berbuat yang terbaik kepada lingkungannya. Tak tersisa alasan apapun untuk takut berpuasa. Sebagian orang hanya takut miskin dan sebagian yang lain hanya takut kelaparan.
Ainul Yakin
Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA