TAUHID OTORITATIF SEBAGAI MODAL KEMENANGAN AL-QUDS

Bagikan

Setiap negeri menyimpan sejarahnya sendiri. Semakin kompleks dendang historisnya semakin subur pula ia sebagai tempat budidaya konflik kepentingan. Ini dikarenakan kepentingan selalu tumbuh dengan logikanya sendiri. Sangat pragmatis, berjangka pendek dan berujung tumpul. Akibatnya, ia akan membuat orang terseret ke dalam lembah monopoli, hegemoni dan eksploitasi yang tak berkesudahan.

Salah satu daerah yang tak pernah betul-betul sepi dari konflik yang demikian adalah Al-Quds atau Palestina secara umum. Akhir-akhir ini ia membuat geger kembali dunia internasional untuk yang kesekian kalinya dikarenakan serangan canggih, brutal dan membabi buta oleh Israel terhadap Palestina. Banyak penduduk tak bersalah yang harus membayar ongkos mahal peperangan yang tak jelas kapan usainya. Tak terhitung anak-anak yang terpaksa bermain teka-teki dengan masa depannya. Dan tampak lautan reruntuhan serta puing-puing gedung yang menjadi saksi atas dosa-dosa kanibalis para zionis. Seperti yang diketahui bahwa embrio dari serangan ini adalah kehendak untuk menguasai Al-Quds yang menyimpan sejuta cerita suci di masa lalu.

Rakyat Palestina tak diam. Beberapa kelompok masyarakat menggubris prilaku-prilaku tak berkemanusiaan itu. Dengan segala kemampuannya mereka mengangkat senjata juga. Dengan keterbatasannya, mereka bergerak. Ada sejumlah alasan perlawanan rakyat negeri para nabi tersebut bisa dibenarkan dan patut dibela dengan segala cara. Atas nama nasionalisme, mereka memiliki kecintaan dan suka-duka yang mendalam dengan negerinya sendiri. Ikatan emosional dengan tanah airnya sudah terlanjur kuat dan susah untuk dipaksa pupus.

Alasan kemanusiaan juga sejalan dengan tindakan dan keputusan yang mereka ambil. Mereka hendak membebaskan bangsa sendiri agar tak dikuasai para pemuja kezhaliman. Tak satupun manusia berhak merenggut rasa aman dari orang lain dengan motif yang licik dan rakus sehingga harus merampas dan merampok hak milik yang sah.

Namun diantara alasan-alasan tersebut, terdapat sebuah alasan yang menjadi cara pandang lain dalam membenarkan tindakan mereka sekaligus membela meraka yaitu pandangan teologis. Sebuah paradigma yang berangkat dari nilai-nilai ketuhanan yang bersifat universal dan transenden. Nilai ini memiliki kekuatannya tersendiri khususnya bagi umat Palestina yang memang hidup dengan menganut nilai-nilai agama.

Pandangan-pandangan teologis ini muaranya adalah tauhid. Pengesaan Allah. Tauhid tak melulu teoritis dan mengurusi kehidupan individu dalam relasi vertikalnya dengan Sang Pencipta saja, namun ia memiliki sisi praktis dan berhubungan dengan kehidupan sosial. Bahkan dalih dalam membela negara, semangat dan praktiknya mendapatkan tempatnya dalam ajaran tauhid. Tauhid yang demikian itu disebut dengan tauhid otoritatif.

Pandangan tauhid ini mengajak kita menyadari lebih dalam tentang makna otoritas dan kekuasaan. Kekuasaan yang sejati adalah otoritas tanpa batas. Kekuasaan yang semacam ini hanya dimiliki oleh Allah saja. Dialah yang menyandang sifat qadir. Dialah Yang Maha Kuasa. Tak dibatasi oleh apapun atau siapapun. Karena itu, tauhid otoritatif akan melahirkan sikap pengesaan Tuhan yang total dalam seluruh bentuk kuasa-Nya. Tak ada yang diizinkan secara ontologis untuk menjadi tuhan lain yang memiliki kekuasaan selain Allah.

Adapun kekuasaan yang ada pada manusia pada hakikatnya hanyalah kuasa yang semu dan tak abadi sehingga tidak boleh dijadikan alasan untuk anarkis terhadap sesama. Setiap manusia harusnya menyadari hal ini dengan penghayatan yang dalam agar bisa dengan penuh kesadaran menggantungkan dirinya pada Dia Yang Maha Memiliki Kewenangan. Inilah sisi kehambaan semua orang, bahwa ia pasti butuh pada-Nya. Dia yang telah mengadakan mereka dan lalu menghidupi mereka. Maka siapapun atau bangsa manapun yang melawan naluri kehambaannya ini dengan mengeksploitasi dan memperbudak bangsa lain hanya karena alasan lebih kuasa dan digdaya pada hakikatnya ia sedang mempertuhankan dirinya sendiri. Mereka adalah segerombolan berhala bernyawa yang silau dengan hasrat eksploitatif dan nafsu binatangisme yang ia tak sadari tengah menggrogoti dirinya.

Mempertuhankan diri sendiri dengan terus menghisap dan memeras orang lain sama terlarangnya dengan sikap diam dan tak acuh terhadap kecenderungan beberapa pihak untuk mempertuhankan diri mereka sendiri seperti itu. Karenanya, semangat tauhid otoritatif adalah memerangi praktik-praktik yang demikian dalam rangka menegakkan kalimat tauhid ‘la ilaha illa allah’ pada tataran aplikatifnya. Setiap dari ahl al-tauhid harus terlibat aktif menyuarakan dan membela kebenaran serta melawan kebathilan, bahkan sebelum memandang ia sebagai hak atau kewajiban kemanusiaan terlebih dahulu.

‘Tuhan-tuhan’ palsu tersebut tak boleh dibiarkan, karena melakukan pembiaran terhadap mereka untuk menghegemoni kehidupan orang lain sama saja dengan mengizinkan kesyirikan semu di atas dunia terus terjadi. Dampaknya sangat mencederai banyak aspek kehidupan umat manusia.

 Tauhid menjadi motor penggerak dalam setiap laku dan tindakan untuk menghalau penindasan sekaligus menjadi perisai dari rasa inferior dan rendah diri. Tauhid tidak memberikan celah para pemeluk agama untuk lemah, menyerah dan menerima begitu saja realitas kehidupan beragama dan bernegara dalam setiap bentuk dan levelnya melainkan harus turun tangan untuk membentuk serta mengubahnya.

Prilaku yang demikian telah dicontohkan baginda nabi Muhammad SAW. sebagai seorang teladan yang sempurna. Beliau melakukan perlawanan saat mendapatkan ancaman dan serangan dari kaum kafir quraisy yang masih menjadi mayoritas saat itu karena alasan lebih kuat dan dominan. Oleh karenannya, mereka orang-orang yang setia terhadap nabi dideskripsikan dengan lugas oleh Al-Qur’an sebagai asyidda’ ‘ala al-kuffar yang mengisyaratkan bahwa mereka memiliki mental yang berani dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman dari kalangan pembenci.

Ajaran tauhid telah terhunjam ke dalam jiwa mereka sehingga tak ada pilihan kecuali tunduk pada syari’at agama yang menyatakan keharusan jihad di jalan Allah. Berjuang untuk memangkas munculnya benih-benih berbagai bentuk penyimpangan.

Bangsa Palestina bersama para ahl al-tauhid dimanapun bisa mencontoh dan meneladani sang junjungan alam Baginda Nabi SAW. Tauhid otoritatif tersebut cukup menjadi modal awal dalam mengambil bagian untuk memutus rantai tirani jahat para penindas dalam rangka membentuk dan mengukir sejarah bagi pembebasan Al-Quds untuk generasi beragama di kemudian hari.

Ainul Yakin

Ainul Yakin

Mahasiswa Magister Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra - Jakarta,
Staff di Pondok Pesantren Quantum IDEA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×