“Trauma Digital” dan Upaya Kolaborasi Multipihak dalam Mendorong Pendidikan Literasi Digital di Sekolah

Bagikan

Apa yang kira-kira terjadi saat ini di media sosial dan grup-grup percakapan di WhatsApp adalah cerminan dari kemampuan literasi digital masyarakat kita. 

Hal yang paling mudah untuk Anda bisa renungkan adalah jika Anda menemukan perilaku positif seperti pandai memilah-milih informasi, tidak menyebarkan hoaks, dan tidak saling hujat karena perbedaan pendapat atau pilihan menunjukkan bahwa masyarakat dalam lingkaran terdekat Anda telah memiliki pemahaman yang baik tentang informasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan etika bermedia. Sebaliknya, jika perilaku negatif seperti menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian yang Anda temukan, maka hal ini menunjukkan perlunya peningkatan literasi digital sebagai upaya pencegahan dan penghentian “Trauma Digital” di masyarakat. 

Trauma digital yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah dampak buruk atau trauma yang muncul dari pengalaman negatif seseorang di dunia digital. Trauma digital dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk menggunakan teknologi secara produktif dan bermakna. Misal: paparan hoaks membuat seseorang memiliki trauma digital dalam bentuk ketidakpercayaan pada informasi yang diterima. Pada konteks bermasyarakat, trauma digital dapat menyebabkan polarisasi dan perpecahan, juga ketidakpercayaan pada teknologi dan institusi tertentu. 

Melalui tulisan ini, saya tidak akan membahas apa yang harusnya dilakukan kepada orang dewasa dalam peningkatan literasi digital. Saya hendak mengajak Anda ke masa depan. Saya melihat bahwa menyusun strategi untuk pendidikan literasi digital ke sekolah adalah “akar” dan “investasi” untuk menguatkan literasi digital dan mencegah terulangnya dan atau lahirnya “trauma digital” baru di masa depan. 

Menghitung mundur dari cita-cita Indonesia Emas di tahun 20451, saat ini mereka yang kelak akan menjadi tumpuan bangsa Indonesia dan berusia produktif adalah siswa-siswi yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). 

Pertanyaannya, apa yang sudah kita rencanakan dan lakukan untuk mendorong pendidikan literasi digital masuk ke sekolah-sekolah, terutama Sekolah Dasar? 

Pertama, untuk menjawab dua hal di atas mari kita telurusi lagi komitmen Indonesia.

Selain cita-cita Indonesia Emas pada tahun 2045, Indonesia juga memiliki komitmen untuk mewujudkan kawasan ASEAN yang terintergasi secara digital dan menciptakan masyarakat digital ASEAN yang inklusif di tahun 20252. Komitmen yang akan ditagih dalam satu tahun lagi. 

Berbagai upaya percepatan transformasi digital telah dilakukan, termasuk misal dalam bidang pendidikan. Sejak pandemi covid-19, dorongan dalam menggunakan teknologi digital dalam pendidikan, seperti pembelajaran online, platform edukasi digital, dan penggunaan perangkat teknologi di sekolah lebih masif dilakukan. Namun, tantangan menurut data yang ditunjukkan pada dokumen Asean Digital Masterplan (ADM) 2025 adalah kembali pada “kurangnya pendidikan literasi digital.”. 

Pada data di dokumen yang sama juga menunjukkan bahwa kebanyakan anak muda yang ikut dalam survei tersebut memandang literasi digital sebagai hal yang penting bagi masa depan mereka sebab saat ini di tengah gempuran transformasi digital, mereka merasa memiliki keterampilan digital yang tidak begitu baik.











Berikutnya, Indonesia yang memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan digital utama di Asia Tenggara, melalui visi misi Indonesia Digital 20455 berkomitmen untuk memperkuat SDM Digital. Hal ini direncanakan untuk dilakukan dengan menciptakan SDM digital nasional yang terampil dan berdaya saing dengan penguasaan teknologi, dan membentuk masyarakat yang produktif memanfaatkan teknologi digital, dengan tetap memegang nilai-nilai Pancasila, nilai budaya, dan norma sosial kemasyarakatan. Terutama untuk meningkatkan Indeks Masyarakat Digital Indonesia.


Kedua, usulan strategi pengembangan pendidikan literasi digital 

Menengok pada milestone Indonesia Digital di tahun 2045, tujuan akhir dari upaya transformasi digital di Indonesia adalah menciptakan pemimpin teknologi global. Untuk mencapai tujuan ini, sekali lagi kita melihat bahwa pendidikan literasi digital di sekolah-sekolah memainkan peran penting. Catatan terbuka, penulis meyakini sekolah adalah ruang belajar formal pertama bagi seluruh pemimpin di dunia, sehingga intervensi yang optimal perlu dilakukan sejak dari sekolah.

Dalam tulisan dari Eka Aprilya H. (2022) “Prinsip-Prinsip Literasi Digital dalam Pengajaran”, ia mengutip pernyataan Steve Jobs, salah satu kiblat pemimpin teknologi global, “Technology is nothing. What’s important is that you have faith in people, that they’re basically good and smart — and if you give them tools, they’ll do wonderful things with them.” – Teknologi bukan apa-apa. Yang penting adalah Anda memiliki keyakinan pada orang-orang, bahwa mereka pada dasarnya baik dan cerdas; dan jika Anda memberi mereka alat, mereka akan melakukan hal-hal luar biasa. Yang perlu kita ingat, “orang-orang” dalam konteks ini adalah juga anak-anak. 

UNESCO3 dalam revisi draft rekomendasinya tentang pendidikan menyebutkan bahwa saat ini dibutuhkan keterampilan kewarganegaraan seperti kemampuan untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab serta berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sipil dan sosial, di era digital di konteks lokal, nasional, dan global. Hal ini memerlukan upaya bersama seperti mempromosikan literasi digital sebagai hal yang penting dalam partisipasi sosial, ekonomi, dan politik. 
OECD4 (2018) dalam papernya yang berjudul “Masa Depan Pendidikan dan Keterampilan 2030: Kerangka Pembelajaran Konseptual” menyebutkan ada beberapa keterampilan yang sangat perlu dimiliki di abad ke-21, salah  satunya adalah keterampilan literasi digital. Misal: kemampuan anak-anak dalam mengevaluasi informasi yang mereka temukan di internet dan media sosial juga keterampilan keamanan digital seperti perlindungan diri dari cyberbullying dan penipuan online.

 

Indonesia sendiri telah mendorong keterampilan literasi digital untuk masuk ke sekolah-sekolah. Indonesia melalui Kurikulum Merdeka memasukkan pendidikan literasi digital ke sekolah-sekolah SMP, SMA dan SMK yang disebut sebagai “mata pelajaran informatika”. Tugas berikutnya adalah mendorong pendidikan literasi digital untuk juga masuk ke tingkatan Sekolah Dasar (SD). Saya sepakat, ini bukanlah hal yang mudah. Kurang meratanya kemampuan literasi digital para guru menjadi tantangan berikutnya. Kurang meratanya kemampuan literasi digital para guru dan materi ajar yang menarik  menjadi tantangan berikutnya.

Ketiga, komitmen kolaborasi multipihak.

Maria Montessori, seorang pendidik yang mengembangkan pendidikan montessori6 yang berpusat pada anak, meyakini bahwa anak-anak adalah individu yang unik dan memiliki potensi yang luar biasa. Untuk memaksimalkan potensi-potensi tersebut, perlu adanya dorongan berbagai pihak; pemerintah, swasta, dan masyarakat (termasuk sekolah dan orang tua).

Pemerintah perlu mendorong adanya regulasi yang inklusif dan dalam konteks ini adalah memastikan setiap sekolah memiliki akses internet yang memadai dan menyusun materi literasi digital dengan mengedepankan kepentingan anak-anak di ruang digital. Swasta, semisal platform bisa bekerja sama untuk menyalurkan pengalaman dan pengetahuan praktis juga sumber daya di berbagai isu digital. Serta masyarakat dengan kesediaan terlibat secara aktif dalam konsultasi publik pada saat penyusunan program kerja atau kebijakan terkait isu digital dan membagikan informasi yang bermanfaat terkait pendidikan literasi digital. Sekolah dapat bersama mendorong pelaksanaan kelas literasi digital di sekolah. Orang tua dengan ikut belajar dan mulai membicarakan literasi digital di rumah.

Internet sehat, melalui pilar ketiga kerjanya, yaitu kolaborasi, mendorong pelibatan multipihak dalam menjawab tantangan saat ini seperti penguatan komitmen bersama untuk mendorong pendidikan literasi digital ke sekolah-sekolah bahkan sejak Sekolah Dasar (SD). Misal, memberi pelatihan literasi digital untuk guru dan siswa terkait pengembangan inovasi teknologi dan dampaknya melalui pengembangan microsite s.id/anakdigital dan lainnya di akademi.internetsehat.id. Selain itu juga bersama-sama berbagai pihak, utamanya masyarakat sipil mendorong penyediaan materi ajar literasi digital yang ramah anak dengan mengutamakan bahasa yang mudah bagi anak-anak. 

Dengan komitmen dan kolaborasi multipihak, kami yakin akan tumbuh ekosistem digital yang kondusif bagi anak-anak dan generasi muda untuk belajar, berkembang dan berdaya saing di ruang digital. Hal ini harapannya mampu mencegah bertambah dan atau terulangnya lagi “trauma digital” dan menciptakan penggunaan teknologi digital yang lebih bermakna di masa depan.

Link Referensi:

  1. Indonesia Emas 2045: https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/Policy_Paper/Ringkasan%20Eksekutif%20Visi%20Indonesia%202045_Final.pdf
  2. Asean Digital Masterplan (ADM) 2025: https://asean.org/wp-content/uploads/2021/09/ASEAN-Digital-Masterplan-EDITED.pdf
  3. UNESCO: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000386924
  4. OECD: Future of Education and Skills 2030: Conceptual Learning Framework Education and AI: preparing for the future & AI, Attitudes and Values: https://www.oecd.org/education/2030/Education-and-AI-preparing-for-the-future-AI-Attitudes-and-Values.pdf
  5. Indonesia Digital 2045: https://digital2045.id/bukuvid2045/
  6. Montessori adalah metode pendidikan untuk anak usia dini yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori pada awal abad ke-20. Metode ini menekankan pada pembelajaran mandiri, eksplorasi bebas, dan perkembangan holistik anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×